Come Back!!!
Halo?
Aku cukup bingung akan memulai ini darimana, tapi aku usahakan tulisannya tetap
nyaman dibaca oleh siapapun dan dimanapun tempatnya. Perasaanku seakan sedang
berujar bahwa telah lama sekali aku tidak menulis, entah itu kecemasanku
ataupun segala sesuatu yang mencoba keluar dari pikiranku lewat tulisan. Ah,
pantas saja aku menjadi mudah marah dan gelisah dalam sekali waktu.
Kepalaku
pening, sedangkan perasaanku selalu saja membuatku tak nyaman. Aku berusaha
membuat segalanya menjadi mudah, mungkin butuh sedikit istirahat, scroll sosial media, menonton youtube,
atau mungkin sekedar bermain dengan kucing liar di dekat rumah. Nihil, kepalaku
tak mau bersahabat. Bisa jadi sedang terjadi pergolakan dalam diriku yang
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Haha, aku hanya butuh membaca dan
menulis kembali kukira.
Hari
ini, dengan sore yang biasa saja selepas waktu ashar aku mengambil posisi duduk
sembari membaca buku karangan Mbah Nun. Buku yang apabila aku melihatnya akan
terus merasa bersalah sebab tak pernah kuselesaikan. Benar saja, akupun lupa
isi bukunya yang lantas membuatku harus kembali membaca dari awal. Aku butuh
asupan rohani, setidaknya beberapa lembar tulisan Mbah Nun akan melekat pada
pikiran dan hatiku.
Aku
belum membaca banyak, hanya 20 halaman dan kata pengantar. Benar saja, belum
apa – apa aku sudah tersentil oleh isinya. Menjawab beragam sampah di otakku
yang belum lagi menjumpai pembuangannya. Mengenai ilmu, pendidikan, sosial, dan
aku juga yang lahir sebagai ayat wujudiah. “Apa
yang benar, Bukan siapa yang benar,” aku jadi ingat betapa dahulu amat
tertarik membeli karena judul bukunya.
Kemampuan
membacaku menurun, sedikit lembar saja sudah tak tahan menahan kantuk. Kulirik
ibuku sedang makan sore dengan lauk oseng pare. Ah, lidahku merasa pahit
sebelum benar menyecapnya. Toh, nyatanya aku juga menutup buku dan memilih
makan bersama ibu. Oseng pare tempe, sate ayam, serta terong goreng menjadi
pilihan laukku.
“Pahit
bu?,” ibuku menggeleng dan menyodorkan padaku. Aku berdesis, apa yang tidak
pahit katanya jelas saja sebagian besar orang mengamini bahwa rasanya akan
tetap pahit meski diolah dengan teknik bagaimanapun. Hatiku bimbang, untuk
kemudian mencoba memakan olahan pare tersebut. Kulahap satu iris tipis pare,
memejamkan mata dan mengingat terakhir kali aku mencoba makan pare.
Rasanya
memang pahit, aku lekas menjumput nasi dan sate lalu cepat kumakan. Pahitnya
hilang, kemudian rasa penasaranku bertambah. Akankah suatu saat ketika tua aku
menjadi terbiasa dengan pahitnya pare? Kenapa tidak jika aku sering memakannya.
Lalu kuambil lagi seiris dengan tambahan nasi dan sate lalu kulahap bersamaan.
Oh hei, mataku mengerjap memastikan bahwa rasanya memang bercampur dan pahitnya
sedikit hilang.
Bosan
dengan tulisanku sampai sini? Bertahanlah sebab ini bukan tentang pare yang pahit
dan ketidaknyambungannya bersama buku Mbah Nun. Tapi ini tentang hidup yang
sampai usiaku sekarang akan selalu menjadi pertanyaan dan puzzle bergelimang
kebingungan. Pastikan kau membacanya, sedikit banyak semoga juga dapat memantik
suatu hal ajaib dalam dirimu.
Oseng
pare, otakku langsung menyamakannya dengan jalan hidup. Hidup di dunia ini
memanglah hanya sementara, kadang manusia lupa kadang juga ingat. Yang membuat
lupa ialah hal enak dan cocok bagi kita, sedang yang membuat ingat justru hal
pahit dalam hidup. Mungkin saja alaminya seperti itu, tapi sekali lagi aku tak
mencari siapa yang benar seperti kata Mbah Nun pada sampul bukunya.
Bila
aku mengingat, usia 20 tahunan aku mulai merasakan pahitnya realita yang tak
sesuai ekspektasi. Banyak hal kejutan yang membuat aku merasa buruk dari
siapapun. Aku berjuang melawan pikiranku yang semakin kacau dan berisik di
malam hari. Dan bangun kelelahan untuk beraktivitas lagi di pagi hari, begitu
saja sepanjang hari berganti hari. Aku terganggu dengan berisiknya pertanyaan
orang yang silih berganti sampai akhirnya hari ini aku sedikit terbangun dari
matinya pikiran (Semoga kau tak merasa hal yang sama).
Sudah
menangkap? Yah, ternyata aku terlalu fokus dengan rasa sakit atau pahit yang aku
alami. Prosesku mungkin tak sesulit yang kau alami jadi jangan hakimi! Mari
lanjutkan. Padahal rasa pahit takkan terasa tajam apabila aku bisa melihat anugerah
lain dari diriku. Saat terpuruk aku mencoba mengingat Tuhan dengan baik, tapi
hatiku masih kosong. Hari ini, aku menemukan formulasinya, dan tulisan ini akan
mengikat ingatanku yang pelupa ini.
Sekarang
rasanya amat tenang, hatiku nyaman, dan perasaanku bahagia kembali. Tuhan
memberikan jawaban dengan menawarkan obat berupa buku dan oseng pare saja. Hal
sederhana nan receh yang tak pernah kusangka akan membawa hatiku pada kedamaian
lagi. Sungguh, aku lupa bahwa hampir dari setiap kegiatan dan apapun yang aku
lihat pasti terdapat jawaban Tuhan. Aku melihat Tuhan, dimanapun dan kapanpun.
Ampuni
tulisanku yang acak – acakan sebab sejak lama tak kembali menulis lagi. Aku
tidak janji akan konsisten menulis, tapi aku berharap blogku tidak akan pernah mati kecuali sang empunya telah berpulang.
Terimakasih sudah bertahan sampai tulisan ini berakhir, kau harus mendapat
sesuatu dari sini untuk kau kaji ulang sendiri. Selamat malam Jum’at dan semoga
hari esok kau akan mendapat kejutan yang membahagiakan, semangattttt!
Dariku
Si Anak Manja
Probolinggo,
01 Februari 2024
Komentar
Posting Komentar