Resensi Buku : 86 (Karya Okky Madasari)

Resensi Buku

Judul buku                   : 86

Pengarang                   : Okky Madasari

Penerbit                       : PT. Gramedia Pustaka Utama

Ketebalan Buku          : 256 halaman, 20cm

ISBN                            : 978-979-22-6769-3



Sebuah kisah yang mengambil latar belakang lembaga besar peradilan dengan tokoh utama seorang perempuan yang nyaris jarang tersendat sebuah kasus besar dalam negeri.



Ialah Arimbi, sang gadis desa yang mengejar dunia pendidikan tinggi dan berakhir dengan pekerjaannya sebagai PNS, lebih tepatnya juru tulis dalam lembaga peradilan tersebut. Ayah dan Ibunya di kampung halaman teramat membanggakan dirinya, tersebab keluarga mereka untuk pertama kalinya bekerja sebagai seorang yang tangan serta bajunya bersih dari tanah dan lumpur garapan.



Arimbi melewati masa bekerjanya dengan teramat baik dan berusaha mencukupi kehidupannya sendiri di perantauan dan untuk orangtuanya di  desa, tak ada kecacatan pekerjaan yang berarti selain dari rumah kos, gang sempit, serta jalanan kota yang macet dan harus dilaluinya setiap hari. Setidaknya sebelum adanya suatu kejadian dimana ia kemudian mulai mengenal “86” ini dalam dunia pekerjaannya. Sebenarnya praktik 86 hampir mencakup semua lapisan pekerjaan di dalam masyarakat, tak hanya di dalam lembaga hukum saja. Namun, disini Okky ingin membangun suatu latar dimana ia telah melakukan riset sebelumnya saat bertugas menjadi wartawan di bidang hukum yang khususnya menilik kasus korupsi. Buku ini menjadi sangat menarik, tatkala sudah mulai mengenalkan akan apa itu arti korupsi, yang tidak hanya berasal dari materi, juga semestinya meliputi non-materi.



Dalam sebuah peramban yang mengulas hasil wawancara dengan Anggie Aprilia (2013), sebenarnya untuk tokoh utama penulisan novel ini dipilih seorang perempuan dikarenakan sebuah fakta bahwa korupsi bisa dilakukan oleh siapapun tanpa mengenal gender, pun dalam sistem kemasyarakatan tak pelak perempuan kerap menerima akibat yang lebih besar dan cenderung didasari oleh ketidak adilan. Itulah mengapa kemudian dari sudut pandang perempuan terlihat lebih menguras emosi dalam diri.



Arimbi dengan perjalanan hidup yang digambarkan, apalagi setelah pernikahannya dengan Ananta cukup terlihat rumit dan hampir tidak tertebak di lembar demi lembar yang akan dilalui setelahnya. Ia dengan 86 kecil – kecilannya mulai merambah ke dunia yang lebih lebar, atau mungkin terjerumus dalam tipu daya duniawi berupa harta. Itulah kemudian yang mengantarkan ia berada di balik jeruji besi.



Arimbi pada kenyataannya tak pernah beranjak sekali pun menjauh dari praktik 86 ini. Dengan kepercayaan di kemudian hari yang akan insyaf, ia selalu menanti nantikan sesuatu yang sebenarnya bisa diputuskan saat itu juga.



Novel ini mengangkat peristiwa sekaligus dalam sebuah lembaga peradilan serta penjara untuk membuka pandangan publik mengenai praktik 86 yang entah disadari atau tidaknya telah merebak bahkan dalam badan yang dipercaya sebagai penegak keadilan sekalipun.



Sedikit banyaknya novel ini memberikan pesan yang teramat mendalam, mengingat bahwa tindak korupsi juga merupakan masalah kemanusiaan yang sudah mengakar dan hampir – hampir dimaklumi dalam masyarakat sendiri. Dimanapun dan kapanpun selama ada kesempatan, maka 86 ini akan selalu mengintai sesiapa yang tamak akan harta. Tak menutup kemungkinan juga, keadaan yang mendesak tersebab faktor ekonomi menjadi sebab khusus yang menjerat seseorang agar terlibat dalam praktik ini untuk kemudian menjadikannya terbiasa melakukan tindak korupsi.



Selain itu, novel ini juga seakan menjadi lecutan kepada pihak berwajib dan lembaga peradilan serta jajarannya akan wewenang mereka yang sudah mulai memudar dan diragukan pengabdiannya oleh masyarakat. Sehingga tak menutup kemungkinan bahwa ada beberapa pemikiran seakan tak menyetujui lagi bahwa lembaga tersebut masih berdiri. Keterlibatan jajaran lembaga hukum, entah yang terjerumus dalam praktik 86, maupun yang seolah menggambarkan bahwa penjara itu bisa dibeli bagi mereka yang memiliki harta sehingga tak kekurangan apapun dan hampir tak ada bedanya dengan dunia di luar jeruji besi tersebut, khususnya menjadi alasan utama hilangnya kepercayaan masyarakat ini.



Sadar betul tak semua berlaku demikian, namun pada kenyataanya yang mendominasi adalah pihak – pihak yang melenceng. Untuk itu, novel ini hadir sebagai pengingat bagi kita agar tak salah dalam mengambil langkah, betapapun sulitnya kehidupan atau segemerlap apapun tawaran penyelewengan tersebut pada akhirnya hanya akan mengantarkan kita pada lingkaran setan yang tiada pernah terputus dengan segala karma baik itu di dunia maupun di akhirat kelak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!