Penjara untuk Kebebasan

 

Aku tidak pernah membenci kata mutiara, nasehat, bahkan petuah dalam menjalani "Yang Maha Normal" bagi kehidupan ini. Aku mendengarnya, menimbang setiap katanya, bahkan mencoba memaksakan semua masuk dalam sanubariku. Namun sayang, tak ada yang dapat kurasakan selain rasa hampa.

Aku menghabiskan banyak sekali ruang dan waktu sendiri untuk merenungkan jalan hidupku. Merenungkan apa yang menurut kacamata orang lain benar, tapi kebenaran itu sekali lagi tidak ingin merasuk dalam diriku.

Kemudian aku berpeluk lagi dengan perasaan bimbang. Padahal, sudah kusegerakan bangkit dari peristiwa diriku ini yang orang lain sebut dengan kata "Malas". Sial sekali, aku terpenjara dalam keinginan semua orang tanpa bisa melakukan apapun sesuka hati.

Lalu, aku hanya dapat membaca bagian dari diriku yang sepenuhnya mati dalam jasad yang hidup. Aku merasa tidak lagi dapat mengutarakan isi hatiku. Orang lain bahkan bosan mendengarkan keluh kesahku. Bagi mereka ini tidak seberapa, jika dibandingkan dengan penderitaan orang lain. Tak apa, terkadang hanya buku dan isi hati yang dapat mengasihiku dengan jujur, dengan sangat jujur bahkan ketika aku sedang dalam keadaan terpuruk sekalipun.

Sesekali aku teringat sosok Sasana, betapa ia rela mengorbankan semua orang yang dia sayangi untuk memerdekakan diri. Menjadi bebas, bebas yang sebenarnya tak memiliki arti di dunia serba fana ini. Bebas yang hanya sesaat, untuk kembali merasakan hina ditengah masyarakat serba normal. Aku pikir, buku pasung jiwa itu tak sepenuhnya salah meskipun tidak juga boleh dibenarkan. Tapi dengan itu, aku dapat menertawakan diriku sendiri bahwa aku masih takut berdiri diatas pendapatku sendiri. Aku terlalu takut untuk sendiri.

Lalu kesendirian seperti apa yang bisa diharapkan olehku yang telah terbiasa bersama dengan ibu bapak? Dengan kekasih, serta temanku. Nyatanya sendiri itu omong kosong, aku masih perlu makan dengan masakan ibu, masih perlu penasehat seperti bapakku, dan masih perlu kekasih serta teman untuk menemaniku.

Aku tidak tahu akan bagaimana diriku kelak, tidak!, Mungkin nanti, besok, lusa, atau seminggu lagi bahkan. Aku tidak pernah tahu hal gila apa yang akan terealisasi dari otakku. Tidak pernalah aku menduga akan seperti apa jalan yang kupilih nantinya. Untuk keputusanku nanti, aku tidak akan melupa bagaimana aku mengalami hidup dengan rasa bimbang selama setahun terakhir ini. Aku juga tidak akan lupa dengan semua orang yang berusaha mencegahku hanyut dalam keputusan sepihakku (baca: karenamu aku tidak merdeka).


21/03/2023

Ditulis sebagai pengingat "Aku" pada masa ini, dan untuk ditertawakan diriku sendiri di masa yang akan datang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!