Wali

Ini adalah hari baik, hari Jum'at yang penuh berkah. Sungguh awal yang baik dan mengharuskan aku bertemu dengan seseorang yang meng-klaim dirinya adalah wali. Jeda waktu yang cukup lama sejak terakhir kali kami bertemu. Dia orang yang mengesankan dan aku selalu mengingat dirinya saat pertama kali terjun dalam dunia islamisasi berkedok jurnalistik ini.

Dengan sepuntung rokok di sela jarinya, kuperhatikan segala apa yang ia bicarakan. Dari hal receh hingga hal-hal yang tidak terduga bahwa itu merupakan momok yang terus menghantuiku akhir-akhir ini. Apa yang perlu kutuliskan tentang dirinya? Perlukah kiranya aku menambah kalimat sampai paragraf perihal segala sesuatu yang dapat membuat dirinya membuncah dan membranding diri bahkan lebih dari superior. Haha, lupakan.

Aku datang terlambat, seorang senior mengatakan dalam sebuah pesan singkat "Ojo ruwet". Rasa-rasanya kata ruwet selalu identik dengan diriku. Tapi tak apa, batinku senang sebab hari ini terhitung sejak diklatku sendiri di Surabaya, nyata baru hari ini kembali aku bertemu dengan sosoknya.

Aku mendadak memiliki keberanianku sendiri saat berbincang dengannya. Entah mengapa ada sisi arogan dalam diriku yang ingin menampakkan diri. Oke, aku tidak ingin menjadi superior tapi aku juga tidak bisa terus-menerus mengiyakan apa yang orang lain katakan. Ternyata aku mendapat ilham dari setelah berbincang dengannya.

Panjang lebar ia bercerita yang sekiranya perlu diketahui ialah "Jangan andalkan siapapun kecuali dirimu sendiri,". Aku tidak membantah itu, pun menyadari di sisi lain aku tetaplah manusia yang masih membutuhkan orang lain di hidupku. Aku melihat sorot mata itu, mungkin biasa saja tapi mampu menyayat hatiku.

Atau saja ini sebuah delusi? Aku yang menjadi sangat perasa sebab aku dalam periode haidku, dan jatuh di tanggal yang tidak tepat dalam perhitungan. Baiklah kembali lagi, aku sangat bersyukur dengan hari ini. Banyak hal yang dikatakan olehnya dan itu cukup menamparku dengan keras.

Aneh, aku tidak sakit hati dengan yang dia katakan. Itu benar, dan aku mengamininya tanpa harus bergelung dalam kemelut pikiran bahwa lawanku adalah seorang yang ingin diakui dan merasa paling benar. Mungkin ia berkata jujur, ia adalah seorang wali yang sialnya aku tertawa saat ia mengatakan bahwa tempat yang tidak akan didatangi dajjal ialah 3M yang meliputi Mekkah, Madinah, dan Madura.

Di sisi lain, ia mengajarkan bahwa seharusnya kita dapat melawan apa yang mencoba merajai diri saat itu dan biasa disebut sebagai kemungkaran. Aku sadar betul betapa tersesatnya aku, sampai aku tak dapat lagi melihat Tuhan bahkan pada segelas air putih yang kuminum setiap harinya.

Ia bilang tidak memiliki solusi untuk apa yang dipermasalahkan. Setidaknya itu cukup bagi diriku sendiri khususnya yang sudah menganggap tempatku singgah ini adalah sebaik-baiknya keluarga di dunia luar. Kembali soal keluarga, ia membawa keraguan lagi dalam diriku. Keresahan yang berujung pada kalimat "Bagaimana kalian menyebut kita sebagai sebuah keluarga?,"

Deep, hatiku tertambat sesaat dan pening rasanya kepalaku. Tak habis pikir, mengapa keraguan itu juga dilontarkan olehnya. Aku dihantui lagi oleh rasa egois, tidak memikirkan perasaan lawan bicara dan perasaan lainnya. "Menekan ego itu gak gampang," ucapnya yakin dan menatap netraku. Oke, baiklah. Aku kesulitan dan nafasku kembali tercekat.

Tapi ia lekas menambahkan. Sebenarnya untuk apapun yang dialami, pun keresahan dan sakit hati yang dipelihara itu baik. Baik jika sesuai dengan porsinya, dan kita memiliki kontrol atas itu. Dan yah, ini adalah ujung tulisan kali ini. Jangan mengharapkan apapun apalagi menaruh ekspektasi tinggi terhadap tulisan ini. Terlalu sederhana, sebab aku hanya ingin menulis agar tidak melupa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!