Ale
Ini Hari Rabu,
waktu sudah menunjukkan pukul 5 di sore hari tepatnya waktu Indonesia bagian
barat. Dan Anna masih dengan baju yang sama seperti yang tempo hari ia kenakan.
Tidak terlihat tanda-tanda ia akan bergerak dari ranjang barang sedikitpun. Air
mata terus membasahi pipi ranumnya, dan terlihat betapa bibirnya yang cantik
kini kian memucat. Oh ayolah, ini hanya perihal cinta dan dia bisa sehancur
itu. Pintu berderit dan menandakan seseorang tengah masuk ke dalam ruangan bertema
serba gelap itu.
“Secinta itu kau
kepadanya?,”
Langkah kecil
wanita paruh baya itu tak menarik sama sekali perhatian gadis yang tengah tidur
membelakanginya itu. Margaret, tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh
putrinya. Seisi ruangan nampak berantakan dan seolah tak bernyawa. Merasa tak
dihiraukan, Margaret naik ke ranjang dan mengelus perlahan pucuk rambut putri
kesayangannya itu. Tidak bergerak, netranya terbuka namun menatap kosong meja
belajar yang disana terdapat sebuah foto seorang lelaki yang menampakkan
semburat senyumnya. Sangat manis, dan mengesankan siapa saja yang menatapnya.
“Aku
mencintainya bunda, bahkan hal sebesar apapun yang ia sebut dengan kekurangan.
Tapi ia menganggap aku tidak mampu mengimbanginya. Apa aku harus sepertinya
dulu agar bisa memeluknya kembali dalam dekapku?,”
“Kau bicara
sayang, tidak apa. Ayo keluarkan semuanya, jangan buat bunda dan ayah khawatir
dengan keadaanmu,” Margaret menitikkan air mata dan mencoba memeluk Anna dalam
keadaan yang tertidur.
“Jangan pergi,
kataku berputus asa. Aku mencium sudut bibirnya, memeluknya seolah aku tak
dapat memeluknya lagi keesokan harinya, menggenggam tangannya seerat mungkin
agar ia tak hilang kendali. Tapi aku kalah, dia pergi dan aku sendiri disana,”
bibir Anna bergetar dengan air mata yang semakin deras berderai.
“Bunda, aku
rindu. Rindu dia, sangat merindukannya,”
“Iya sayang,
bunda mengerti. Kau ingin bunda dan ayah pergi menjemput dia untukmu? Asal kau
tidak begini lagi. Kau membuat ayah dan bunda khawatir,”
Valdemar hanya
berdiri di daun pintu, tak mampu melakukan pergerakan apapun selain membiarkan
kedua perempuan yang ia sayangi tengah berbagi luka. Dia terpaksa menunda
keberangkatannya ke Jerman karena melihat putrinya dalam keadaan yang tidak
baik-baik saja. Sebagai seorang ayah, tak banyak yang bisa ia lakukan selain
mencoba mencari lelaki yang sangat dicintai oleh putrinya itu.
***
“Cantik,” tatap
kagum seorang lelaki jangkung berparas Indo-Belanda itu.
“Aku perempuan
kesekian yang kau puji demikian pastinya. Dan aku tidak akan terkesan tuan,”
Ialah Alegrato
dan Anna yang berada dalam sebuah ruangan seni di sebuah taman kota. Saling
berhadapan dengan kanvas dan media cat lainnya dalam sisi masing-masing. Sudah
tiga jam mereka duduk bersebrangan dengan lukisan diri satu sama lain. Ale yang
melukis paras cantik Anna, pun demikian sebaliknya. Ini adalah musim semi,
dimana merupakan minggu ketiga dari waktu dimana mereka bertemu di sebuah
cafetaria kala itu.
Tak terasa
telfon berdering sehingga mau tak mau harus melepaskan kontak antara kedua mata
yang saling bertatapan itu. Ale berdiri dan mengambil ponselnya di meja, tanpa
menjawab telfon diluar dugaan ia hanya tersenyum kecut, mematikan telfonnya,
dan melemparnya ke sembarang tempat. Anna yang terkejut langsung berdiri dan
bergerak memungut ponsel yang telah tak berbentuk itu.
“Kau merusaknya,
Al,” pekik Anna dengan wajah cemas.
“Tidak usah Ann,
aku akan membeli yang baru nanti. Biarkan saja seperti itu,”
“Memangnya kau
sekaya apa, sampai ponselmu dihancurkan secara percuma seperti ini. Kau
harusnya bersyukur karena kau masih punya ponsel dengan model terbaru,
bayangkan orang diluaran sana yang ingin memiliki ponsel namun tak bisa
memilikinya,” Anna mendengus kesal.
Tawa Ale
menggelegar memenuhi seisi ruangan, seraya memegangi perut ia mencoba menghapus
titik air mata yang menghiasi mata indahnya.
“Kau manis Ann,
dan aku suka melihatmu memarahiku. Marahi aku terus yah,”
“Apa kau tidak
menangkap raut wajah seriusku tuan?,”
“Kau ingin kita
berada dalam hubungan serius Ann? Bahkan kau masih hitungan hari mengenal bajingan
ini,”
Tiba-tiba
suasana menjadi suram tanpa suara. Hanya mata Ale yang berbicara pada Anna
lewat isyarat luka tatapannya. Denting jam dinding menjadi alunan merdu yang
mengiringi dua manusia itu dalam berbagi tatap, gemercik air aquarium pun
menjadi candu dalam sekali waktu, ruang dengan nuansa emas elegan itu mendadak
menjadi saksi bisu antara keduanya yang entah siapa memulai nyata tengah berpagutan
satu sama lain.
***
Disinilah Anna
dengan raut wajah muram menghiasi malam hari itu. Setidaknya ia sudah mau
keluar ruang kamarnya dan duduk di ruang keluarga bersama ayah bundanya. Tidak
ada yang berani memulai percakapan, semua hening dalam diamnya. Jari telunjuk
Valdemar nampak mengetuk meja berulang kali, sedang Margaret duduk di sisi Anna
dengan sesekali memeluk lembut pundak putri semata wayangnya itu.
“Maaf ayah,”
cicit Anna memecah hening.
“Tidak ada yang
perlu ayah maafkan sayang, katakan apa yang harus ayah lakukan agar kau kembali
ceria lagi,” wajah cemas Valdemar sangat kentara.
“Tidak ada,”
“Sayang, ayolah.
Ayah tak tahu harus bagaimana. Bundamu bilang ini karena seorang lelaki, apa
dia melukai putri ayah?,”
“Mungkin aku
yang menyakitinya yah, bukan sama sekali dirinya,” Air mata kembali membasahi
pipi Anna.
“Ayo, coba
ceritakan dengan perlahan apa yang terjadi pada bunda dan ayah. Kami ingin tahu
apa yang terjadi, setidaknya dengan itu kita semua bisa bersama mencari jalan
keluarnya sayang,” Bujuk Margaret dengan lembutnya.
“Aku dari
keluarga yang baik-baik saja, itu masalahnya,”
Valdemar dan
Margaret saling bertatapan satu sama lain, mencoba mencerna apa yang dikatakan
oleh Anna dalam sepersekian detik yang mengejutkan.
“Bagaimana itu
menjadi sebuah masalah ketika semua orang mendambakannya sayang?,”
“Dia tidak. Itu
yang membuat dia merasa aku dan dia tak akan pernah sama meski kami saling
mencintai satu sama lain,” Anna berdiri dan memainkan bunga mawar segar di meja
dekat jendela.
“Hanya karena
masalah sepele dia meninggalkanmu?,”
“Jangan
menyepelekan luka milik orang lain ayah, bahkan kita tak tahu sedalam apa
goresan luka yang dialaminya,” sedu sedan Anna menyayat hati Valdemar. Bergegas
ia memeluk putrinya, mengecup dahinya dan mengatakan maaf berkali-kali.
“Ceritakan
lengkapnya sayang, ayah tak mengerti,”
***
“Apa kau tidak
memiliki cerita berbeda selain perihal kedua orang tuamu? Misal kekasihmu di
masa lalu, temanmu, gurumu yang menjengkelkan, atau tukang roti yang membuatmu
menjadi tidak menyukai nasi yang dijual
di warung kecil misalnya,” suara Ale naik satu oktaf seperti sedang memendam
sesuatu dalam dirinya.
“Maaf, aku tidak
punya banyak orang untuk kukenal. Aku sakit, bersekolah dirumah menjadi pilihan
orang tuaku, dan aku bertemu denganmu secara tiba-tiba, hanya itu,”
“Kau ingin
dengar sebuah kisah klise?,”
“Apa itu?,”
“Tentang seorang
ayah yang hanya peduli dengan karirnya dan wanita muda atau seorang ibu yang
hidup glamour dan menyimpan lelaki muda sebagai gigolonya?,”
“Hentikan!!!,
aku tidak akan suka mendengarnya,” Anna spontan berdiri dan menutup daun
telinganya rapat.
Ale menghela
nafas panjang, memeluk Anna dan membisikkan suatu hal yang dimana pada saat itu
menjadi pukulan terbesar bagi Anna dalam hidupnya. Ale melepas jaket dan
menyampirkannya di bahu terbuka Anna karena gaunnya yang memperlihatkan pundak
putihnya itu.
“Belum apa-apa
Ann, dan kau sudah tidak mau melihat sisi kelamku. Kau hanya punya rasa
kasihan, kau memandangku seolah aku orang yang sangat memerlukan bantuan, dan
kau berlindung pada kalimat bahwa kau mampu mengerti aku seutuhnya. Sekali lagi
tidak Ann, kau bahkan tidak akan mampu,”
***
Valdemar memeluk
erat Anna. Sadar betul dirinya membesarkan Anna dalam setiap kecukupan kasih
sayang dan materi, bahkan nyaris Anna tidak tahu sedikitpun kejamnya dunia
luar. Itu membuat Anna memiliki rasa aman yang mungkin membuatnya kemudian tak
dapat merasakan kepedihan lain yang berada di sekitarnya. Apatis? Apakah
putrinya kini menjadi demikian tanpa disadari olehnya maupun Margaret seorang.
Semua sudah
terlambat, Bahkan orang kepercayaan Valdemar pun tidak mampu melacak keberadaan
lelaki yang kelak diketahui olehnya bernama Alegrato. Namun, entah bagaimana
seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu ruang keluarga dan memberikan kotak
berukuran sedang yang diakuinya sebagai pemberian lelaki bernama Ale. Tanpa
banyak bicara Anna menghambur keluar rumah dan menatap sekeliling dengan mata
putus asa sebab tak dapat menemukan apapun. Yah, selain bekas tapak kaki pada
ubin dan scarf yang tak asing baginya.
Itu scarf yang
sama, yang sering dipasang Ale pada lengan kirinya. Scarf cantik berwarna
hitam dengan nama Ale yang menghiasi ujung sebelah kanan scarf. Tak bisa lagi
membendung air mata, Anna menangis dan bersimpuh sembari sesekali menciumi
scarf tersebut. Ia juga tak mengerti mengapa sosok Ale menjadi sangat
berpengaruh dalam hidupnya. Melihat itu Margaret dan Valdemar mendekap putri
kesayangan mereka. Mengajak Anna bangkit dan masuk ke dalam rumah sebab udara
malam nyata tak bersahabat bagi kesehatan Anna yang rentan.
***
Anna menatap
kosong kotak yang belum dibukanya sama sekali. Ia hanya merabanya, memeluknya,
dan menggumamkan nama Ale berulang kali. Sampai waktu menunjukkan pukul 1 dini
hari, dalam keadaan kamar yang gelap Anna tak sudi memejamkan matanya barang
sedikitpun. Namun, ketabahan mengiringnya untuk segera membuka kotak itu.
Mantel hangat berwarna cokelat muda, foto mini dengan gambar ceria Ale dan Anna
saat berada di taman kota, dan gulungan sepucuk surat yang nampak ditulis dalam
sebuah lembar kertas kayu antik, dan dengan tinta yang dalam perkiraannya akan
mudah luntur.
Dibukanya
perlahan gulungan surat itu, isinya tersusun rapi bak sebuah puisi
Hari itu aku melihatmu dalam sebuah pementasan kecil
untuk donasi
Kau menari dengan sangat lihai dan menghayati
Aku melihatnya dengan penuh rasa kagum akan setiap inci
gerakmu
Tarian balet yang sangat indah pun dengan gadis cantik
sebagai balerinanya
Aku jatuh cinta, Tuhan
Untuk yang pertama saat aku tak percaya bahwa aku bisa
mencinta
Persetan dengan nama Tuhan yang tak pernah kusebut
Hari itu doaku yang pertama adalah untuk bahagiamu
Hari demi hari berlalu, lukaku mungkin akan sembuh
Aku ingin setiap hari menikmati wajah manismu, Ann
Aku selalu ingin engkau menjadi penawar bagi hidupku
yang kelam
Bahkan untuk ciuman pertama itu
Terimakasih sebab aku dapat merasakan dicintai oleh
seseorang untuk kali pertama
Tapi Ann,
Aku tidak pantas diberikan lebih, aku adalah definisi tak
pantas sesungguhnya
Kau hidup dalam keharmonisan, sedang aku dalam badai
yang riuh
Kau disuguhi indahnya kasih sayang, sedang aku harus
menelan racun sejak dulu
Maka gadis secantik engkau harus mendapat yang terbaik
Bukan Ale, bukan bajingan ini Ann
Ann, aku pergi yah
Seandainya kau dengar kabar kematianku, maka jangan
sesekali berpikiran untuk datang
Jangan membuatku terluka, kau harus bahagia yah
Simpan kalimat terakhir dimana aku membisikkannya
padamu
Cerita itu biarlah menjadi kenangan
Kenang yang baik-baik saja Ann
Alegrato Sehun
William,
-Tamat-
Komentar
Posting Komentar