Moodmu Kehancuranmu

Owh, Halo..

Aku tidak tahu bagaimana harimu dan semua yang terjadi pada kalian semua yang membaca tulisanku ini. Tapi aku harap semua berjalan baik-baik saja. Jadi begini, sudah seringkali aku menyusupi kehidupan orang lain yang kuanggap sebagai bentuk kurang ajar bagi seseorang yang baru kutemui. Aishhh, maksudku begini ada kalanya beberapa orang tertentu akan merasa tidak nyaman jika kita ajak berbincang dalam sekali waktu pertemuan, lain halnya dengan beberapa orang yang memang merasa baik-baik saja dengan orang baru.

Pada Hari Kamis lalu, lebih tepatnya pada tanggal 9 November 2021 aku pergi ke sebuah warung kopi yang agak sedikit jauh dengan rumah. Aku mengetahui bahwa yang mana jika sesuatu dianggap berat dan beban akan menghasilkan sesuatu yang tidak sesuai. Bukan satu dua kali praduga itu terjadi namun lumayan sering. Baiklah, sekarang beralih pada konteks sesungguhnya. Diawali dengan ketidakberuntungan diriku saat merasa telah menambah uang saku ke dalam hoodieku tapi nyatanya terjatuh di kamar.

Dan yah, inilah Retno dengan bermodal uang Rp.5.000 masuk ke dalam sebuah warung dan hanya memesan teh hangat. Padahal aku sudah mengosongkan perut dan berinisiatif untuk makan agar dapat berdiam di warung cukup lama. Goblok! rutukku dalam hati. Aku yang tidak pernah keluar rumah berakhir dalam sebuah warung yang mana perempuan sangat tabu berdiam disana. Yah, ini desa pikirku jadi wajar jika stereotip masyarakat terbentuk seperti itu yang umumnya masih kental dengan budaya yang mengekang “perempuan”.

Sepuluh menit berlalu aku hanya berdiam duduk, sebab nyatanya masih hanya ada satu sampai dua orang memesan makanan tapi tidak untuk dimakan di tempat. Si ibu pemilik warung tampak sedikit tidak ramah, yah aku harus menghela nafas berkali-kali karena datang ke tempat yang salah. Berulang kali aku mengajak orang berbicara, namun mereka menanggapi hanya dengan senyum sekilas dan agak sedikit tak menghiraukanku yang sering bertanya. Mereka makan dalam hening, mungkin karena sudah masuk waktu tengah hari dan pekerjaan mereka sebagai supir truk mengharuskan mereka cepat menghabiskan waktu rehat.

“Dik, kamu perempuan kenapa ke warung?” Ucap salah seorang bapak dengan sedikit meringis.

Aku menimpalinya gelagapan, bagaimana tidak jika aku kesini saja untuk suatu tujuan bukan keinginanku pribadi. Aishh, sial! Rutukku kembali. Tak tinggal diam bola mata si pemilik warung pun tampak menelitiku dari atas hingga bawah badanku. Dan jangan lupakan tatapan sinisnya, ampun aku ingin pulang saja kalau sudah begitu. Jadi apa lagi? Aku pulang karena aku gagal. Aku benci mengakui, tapi begitu kenyataannya. Sampai dirumah aku jadi hilang semangat dan langsung tertidur tanpa menghiraukan apapun termasuk dering ponsel saat tanteku menelpon. Persetan dengan itu.

Aku mulai terbebani dengan keharusan pergi ke warung, sebab jika terlalu dekat dengan rumahku maka sudah jelas orang yang kuajak bicara akan sangat ramah karena mengenal diriku. Aku mulai putus asa, sebab tanggunganku juga bisa dibilang menyebalkan. Aku bercerita panjang lebar pada kucing-kucingku yang baru belajar berjalan. Salah satunya kuberi nama Zico, aku berceloteh dan dia sibuk mengeong yang kuanggap itu tanda bahwa dirinya mengerti. Ayahku tertawa, dan beliau menawarkan agar aku bisa bersamanya pergi ke warung. Tapi jika aku mengiyakan maka sudah pasti beliau yang akan banyak bertanya, dan bukannya aku.

Sampailah di Hari Sabtu, astaga. Kepalaku sudah mau pecah rasanya, kabar buruk bagi moodku yang hancur. Aku sedikit bingung, apakah ini masuk kategori ataukah tidak tapi kupikir bisa dimasukkan saja daripada aku tidak mendapat apapun. Yah, seorang penjual ice cream keliling lewat di depan rumahku. Ibu menghentikanku dan bilang bahwa ice yang dijual lebih mahal daripada yang di toko, tapi entah mengapa aku tidak menggubris dan tetap menghentikan beliau. Yang akhirnya aku ingat, bahwa beliau dulu sering berjualan di depan Sekolah Dasarku dulu.

“Nggak sekolah mbak? saya lihat tadi pagi sudah banyak anak SMA riwa-riwi ruame,” Katanya sambil menyendok ice ke dalam cone.

“Saya sudah kuliah pak,” Jawabku yang agak tidak minat dengan ucapannya.

Entah karena apa, aku nampak diam saja mendengarnya berbicara. Bahkan sungguh sial, aku hanya mendengarnya sepintas dan tidak terlalu menyimak apa yang dikatakan olehnya. Si bapak berceloteh dan aku hanya menjawab singkat semua pertanyaannya. Namun, seingatku dia mengatakan juga bahwa semua agak menyulitkan bagi hidupnya utamanya saat pandemi datang. Hampir seperti bulan puasa, pandemi membuatnya agak kesulitan berjualan dan penghasilan sedikit. Terlebih masa pandemi menyebabkan orang-orang dihantui teror kebersihan yang berlebihan akibat ancaman pandemi.

“Kemarin saya jualan, ibu-ibu bilang ke anaknya jangan beli soalnya tangan bapaknya kotor nanti kena corona. Katanya, saya diam saja sambil tetap tersenyum. Yah mau gimana mbak,” Sambil tertawa beliau beristighfar.

“Masa sampe begitu pak?”

“Iya, tapi saya nggak terlalu diambil hati mbak. Saya biarkan saja, namanya jualan yah ada saja kan yah,”

Dan karena perbincangan itu ibuku juga turut keluar dan membeli ice cream yang dijual oleh si bapak, tak ketinggalan juga anak kecil di sekitaran rumahku yang ramai ingin membeli. Si bapak tetap bercerita, dan ibuku menimpalinya dengan serius. Kali ini si bapak bercerita bahwa ia sudah memiliki cucu yang tinggal bersama anaknya jauh di kota. Ia hanya tinggal bersama istrinya dan merasa tidak nyaman jika mendapat uang bulanan dari anaknya sehingga ia pun memutuskan untuk berjualan ice cream sejak lama. Dan dengan tidak berdosanya anak tetanggaku yang masih belum masuk taman kanak-kanak bertanya,

“Mbak Put rambutnya cantik kalau kena matahari,”

Sontak hal itu membuatku terhenyak, sedangkan ibuku dan bapak penjual ice cream itu tertawa.

“Mbaknya mau kaya artis korea itu, yang cantik-cantik, kurus, joget-joget,” Kata si bapak yang hendak bercanda ringan. Ibuku tersenyum saja melihat bocah kecil itu.

Astaga pekikku tertahan, aku hanya tersenyum kaku dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku pikir sudah cukup ceritanya. Tidak banyak kisah yang bisa diambil, tapi setidaknya ini menjadi pelajaran agar aku tetap bisa fokus dalam interaksi sosialku dan tidak mengedepankan mood sehingga semua yang harusnya bisa dikulik lebih jauh tidak menjadi penyesalan di akhir sepertiku ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!