Budaya Gaul versi Brutal ala The Pack dan Relevansinya
Ini
adalah kisah mengenai film garapan Pat Holden dan dibintangi oleh Nicky Bell,
Liam Boyle dan Stephen Graham . Film ini hadir dari adaptasi sebuah novel yang
berjudul sama juga dengan nama yang sama oleh Kevin Sampson yang diterbitkan
pada tahun 1998. Sebuah film yang mengangkat era 70-an di Inggris. Film ini
secara luas mengangkat sikap anarkis dan pengaruh kepuasan bertindak brutal
oleh anak-anak muda dalam balutan kefanatikan dirinya terhadap olahraga
sepakbola yang umumnya diidentikkan dengan suporter yang memiliki loyalitas
tinggi terhadap grup pesepak bola favoritnya. Dalam hal ini dikenal umum dengan
nama hooligan.
Sebagian
besar orang mungkin akan menaruh ekspektasi bahwa film ini akan mengangkat kisah
yang erat kaitannya dengan dunia sepakbola, hal-hal yang berkaitam dengannya,
atau bahkan dunia sepakbola yang tidak pernah masuk dalam pikiran atau bahkan
imajinasi kita. Nyatanya semua salah besar, film Awaydays ini memiliki
titik fokus kepada suporternya saja. Terhadap aksi mereka yang melahirkan
banyak kekhawatiran bagi orang tua dan masyarakat umum sebab ke-anarkisan yang
sengaja dilakukannya. Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa yang terlibat
tentunya adalah muda-mudi yang haus akan pengakuan.
Baiklah,
sekarang kita masuk dalam cerita. Cerita dalam film ini ialah seputar kehidupan
anak yang sebenarnya merupakan pemuda dalam kategori baik. Sialnya, dia
terobsesi untuk bergabung dengan hooligan klub yang tak jelas dengan segala
kegiatan brutalnya. Namanya, Carty dengan usia 19 tahun dan baru saja
kehilangan sosok ibu dalam hidupnya. Ia hanya tinggal bersama Molly (adik
perempuannya) serta Ayah yang menjaga keluarga kecilnya. Carty masuk dalam
kelas seni, dan tergolong pada anak yang biasa saja dan tidak memiliki pengaruh
sosial yang berarti. Sampai suatu ketika dia berkeinginan untuk tergabung dalam
sebuah kelompok suporter yang menarik minatnya.
Namun,
walau bagaimanapun usaha Carty untuk masuk ke dalam keanggotaan hooligan klub
yang kelak saya ketahui sebagai geng suporter bernama The Pack tetap saja ia
dianggap lemah dan tak pernah bisa masuk ke dalamnya. Sampai suatu ketika dia
mengenal Elvis. Disinilah semuanya bermula, sebab Elvis kemudian yang menjadi
sebab kehadiran Carty menjadi diterima dalam hooligan klub tersebut. Sebelum
itu, Elvis sudah mewanti-wanti agar Carty tak bergabung dengan klub suporter
brutal yang tak penting itu. Namun Carty bersikeras untuk tetap masuk disana
dan membuktikan bahwa dirinya layak menjadi anggota. Di sisi lain ia merasa
bangga karena perbuatan anarkis yang dilakukannya membuat dirinya merasa lebih
baik.
Sungguh
perasaan yang umum bagi muda-mudi yang dalam pandangan saya ini merupakan sikap
ingin eksis dan diakui dalam suatu golongan masyarakat tertentu. Tak pandang keadaan
dan situasi, selagi itu klub yang terkenal dan cukup kasual maka tak masalah
jika harus mengorbankan banyak sekali hal yang lebih penting dibaliknya. Sayang
beribu sayang, kehadiran Carty tentulah bukan apa-apa jika tidak bersama dengan
Elvis. Disinilah mulai tercium hal yang tak terduga. Bisa dilihat dimana sorot
mata Elvis memandang Carty sebagai sosok yang berbeda. Dan kemudian diketahui
bahwa Elvis “mencintai” Carty dengan cara yang berbeda.
Elvis
yang terjerembab dalam dunia narkoba berupaya lepas dari jeratan setan
tersebut, dengan berinisiatif mengajak Carty pergi ke Berlin. Namun, Carty
menolak hal tersebut. Semakin lama waktu berlalu nyatanya Elvis tak pernah bisa
lepas dari narkoba dan malah semakin kecanduan dengan barang haram tersebut.
Hingga suatu ketika ia pernah menawari Carty untuk menikmati narkoba bersamanya.
Waktu demi waktu berlalu, Carty yang mencium ketidakberesan antara dirinya dan
Elvis mulai menjauh dari Elvis. Bahkan pertemuan terakhir mereka bisa dibilang
tidak mengenakkan sama sekali sebagai dua orang yang pernah dekat satu sama
lain.
Hingga
kemudian ada tragedi yang menimpa Molly, dan Carty tak kuasa mengendalikan
permasalahan itu sendiri sehingga dirinya memilih untuk menemui Elvis dan
meminta bantuannya agar anggota The Pack menolongnya menghajar lelaki yang
telah menodai adiknya. Disinilah semua berjalan dengan cepat, dan kejadian
perkelahian serta goresan pisau kecil yang senantiasa dibawa oleh anggota The
Pack mewarnai kerusuhan dalam bar. Kemudian kita tahu bahwasannya film ini
mengandung nilai yang menyinggung pola perbuatan yang digandrungi manusia belia
dan sudah menjadi kebutuhannya untuk menjalani hidup sebagai manusia muda dan
berhak mengukir cerita, katanya.
Apabila
ditarik dalam dunia saat ini, sebenarnya baik itu di Inggris atau tempat
manapun belahan dunia jelas memiliki biduk persoalan yang sama. Selalu saja
penyakit ingin dikenal dan anarkis lekat dengan dunia anak muda yang sampai
sekarang pun jelas masih ada. Tak hanya dalam dunia sepakbola, bahkan dalam
ranah lain seperti geng yang tergabung dalam pembalap motor liar pun juga ada.
Bahkan di Indonesia juga pernah ada sinetron yang mengangkat soal eksis serta perkelahian
antar geng motor yang berbeda. Yang perlu ditekankan ialah apakah hal tersebut
mampu menjamin hidup akan terasa lebih berwarna? Sebab saya pribadi tak
menemukan celah kebermanfaatan apapun dalam kegiatan yang berbau anarkis dan
brutal ini. Parahnya ada yang sampai merenggut nyawa hanya demi mempertahankan
keeksistensian geng yang mereka bentuk itu tadi.
Komentar
Posting Komentar