Aku Menyesali Kematianmu
Aku
tidak ingat ini adalah hari ke berapa dalam setiap pekan yang memuakkan hatiku.
Aku ingin berteriak, marah, dan menghancurkan segala sesuatu yang ada di
hadapanku. Tapi aku tidak bisa, kau tahu? Mereka melihatku sebagai seseorang
yang penuh dengan kelembutan alih-alih penuh dengan amarah dan kebencian.
Anehnya aku tetap hidup sampai sekarang, sampai semua orang menatapku dengan
ragu lalu berkata “Oh hei, dulu kau sering menangis di dekat lemari pendingin”.
Ku pikir dia hanya tidak tahu, tangisku hampir setiap malam selalu datang dan
memelukku dalam pekatnya malam.
Ada
yang bilang padaku bahwa jangan selalu berkata bahwa kau, aku, dan siapapun
tengah terluka. Rasanya aku ingin berbicara di depan hidung panjangnya itu
sekaligus dengan umpatan, agar dia berhenti berkata sebab aku malas mendengar
kalimatnya yang membeo setiap saat. Memangnya hanya dia yang boleh terluka?
Ucapku sekali lagi tapi tidak padanya. Terkadang aku wajib merasa heran dengan
setiap kepala yang mencoba terlihat baik-baik saja, harusnya mereka bisa
menjadi gila jika itu membuat dirinya merasa lebih hidup. Aku hanya takut
mereka tiba-tiba menghilang, karena tidak bisa berekspresi sepertiku misalnya.
“Apa
aku boleh menangis?”
“Jalang
kecil, kau menangis hampir setiap waktu hingga aku malas melihatmu”
“Kalau
begitu, bolehkah aku menangis lagi? Aku ingin belajar menerima diri”
Haha,
selalu begitu setiap waktu. Dialog yang terus berputar seperti kaset lama setiap
hari saat malam menggantikan siang. Kemudian derit pintu kamar membuatku harus
berhenti sejenak menahan lelehan air mata. Itu ibu, hanya untuk memastikan
anaknya sudah tidur lebih awal karena darah rendah tidak selalu bisa bersahabat
dengan si tukang begadang. Baiklah kataku, sekarang tinggal aku sendirian, yang
tidak pernah suka lampu tetap menyala di kala aku ingin beristirahat. Ku lihat
seisi ruangan sempit yang kusebut teritorialku. Tempat yang dulunya adalah
milikku dan kakak perempuanku.
Cantik,
pintar, dan sopan terhadap siapapun. Bukan hanya semua orang, bahkan akupun
suka memuji semua itu yang tentunya melekat pada perangainya yang anggun. Aku
tidak tahu apakah aku masih ingat rasanya sesak tertidur di sebelahnya, dengan
sebuah tangan yang melingkari perutku. Atau ocehan penuh putus asa yang selalu
menyuruhku membasuh kaki sebelum naik ke ranjang. Atau tatapan mata indah itu
yang gagal membelalak saat aku tak mau menuruti apa maunya. Ternyata hanya
tinggal kenangannya saja, tidak untuk kulihat lagi dengan kedua mata ini.
Sial,
sekarang aku menjadi tiga tahun lebih tua daripada usiamu saat meninggal dulu.
Aku dengar orang meninggal tak akan bertambah usia, dan aku menyesal menjadi
lebih tua darimu. Haruskah kini aku memanggilmu adik? Konyol. Aku berharap kau
tidak tertawa karena aku masih hidup, masih disini dan bergerak membosankan
kesana dan kesini. Aku masih saudarimu yang sama, yang kau ajari bersepeda
dengan roda dua kemudian terjatuh dan membuatmu repot karena terus menangis.
Aku masih suka menangis, mungkin hampir terlihat sebagai hobby.
“Cium
mbakmu buat terakhir kalinya”
Kata
orang-orang yang menatapku penuh rasa kasihan, ingin ku cungkil saja mata sendu
mereka saat itu. Aku masih terlalu kecil untuk tahu bahwa kau tidak akan
kembali lagi. Tapi ini aku, yang masih ingat bahwa tulang rahangmu remuk saat
itu, lebam di beberapa sudut matamu, dan air mata yang jatuh saat kain putih
sialan itu akan menutup wajah cantikmu. Aku ingin marah, tapi kepada siapa?,
Semua orang hanya tahu kedua orang tua kita terluka, tidak atau bukan aku
karena aku hanyalah anak kecil dengan boneka kelinci biru di tangan. Mereka
hanya tahu aku tidak terluka, dan aku selalu baik-baik saja, sendiri.
Huft,
aku sekarang banyak bicara dan aku tidak suka. Kau tahu bagaimana seharusnya
aku bertumbuh dewasa. Kalau kau masih disini, aku yakin diriku akan jauh dari apapun
yang kulakukan saat ini. Tapi sayang, aku hanya bisa menyesalinya. Apa aku
perlu mengutuk Tuhan yah, oh tapi untuk apa kalau toh semua sudah terjadi. Lagi
dan lagi aku hanya bisa menawarkan senyum seperti biasa dan mengerjakan apapun
yang semua orang minta untuk aku lakukan. Maka pada akhirnya akupun tahu bahwa
setiap harinya aku diproses untuk hidup sebagai robot, dan mengapa pula masih
harus ada tangis? Sekalian saja tidak punya perasaan, gumamku yang jelas tidak
terdengar. Jadi, ssssst! Ini rahasia yah.
Komentar
Posting Komentar