Tanah Jawa dan Agama yang Mewarnainya
Tanah Jawa, selalu
identik dengan hal mistik dan seolah menjadi tanda tanya besar bagi sesiapapun
yang ingin tahu secara lebih mendalam mengenai tanah Jawa sendiri. Dilansir
dari sindonews.com bahwasannya pada buku sejarah yang berjudul “Sejarah Gaib
Tanah Jawa” karangan dari CW Leadbeater, jauh pada 2.000 tahun sebelum masehi
pulau Jawa sendiri sudah menjadi koloni bangsa atlantis, namun saat atlantis
sendiri hancur Jawa menjadi negeri terpisah.
Kemudian disaat
masih dipegang dan dikuasai oleh bangsa atlantis ajaran sesat mulai diedarkan
kepada penduduk di pulau Jawa tersebut. Akibat yang ditorehkan tidaklah
main-main, sebab setelahnya tatanan dalam masyarakat menjadi tidak terkendali
dan rusak. Masyarakat hidup dalam pengabdiannya terhadap dewa kejam yang selalu
meminta persembahan manusia, dan sejak saat itulah sulit bagi masyarakat untuk
terlepas dari kungkungan hal buruk yang terjadi.
Di zaman
tersebut, masyarakat diperintah oleh raja yang sangat percaya akan aliran
hitam. Sang raja percaya, bahwa hanya dengan mengorbankan darah pada setiap
harinya mampu menjaga wilayah kedaulatannya dari segala bala musibah dan
kehancuran yang akan datang. Semua atas dasar kepercayaannya bahwa yang
memegang kendali atas tanah Jawa hanyalah dewa yang kejam dan haus akan darah
manusia. Sang raja juga melakukan pemagaran aagar di tanah Jawa tidak pernah
lepas dari ilmu hitam.
Lalu pada 1.200
tahun sebelum masehi terjadi invasi terhadap pulau Jawa oleh Raja Vaivasvata
Manu yang diketahui memeluk agama Hindu. Pihaknya datang dengan cara damai
serta mulai bermukim di dekat pantai lalu membentuk kota kecil perdagangan yang
independen. Lama setelahnya agama Hindu menjadi berkembang amat pesat dan
dominan dalam komunitas. Namun di sisi lain tetap tak dapat menghapuskan ajaran
ilmu sesat.
Dengan kondisi
yang seperti itu Raja Vaivasvata mengirimkan ekspedisi ke Jawa pada tahun 78
masehi. Tujuannya ialah untuk memudarkan pengaruh buruk akibat dari ajaran ilmu
sesat tersebut. Pemimpin dalam ekspedisi ini ialah Aji Saka yang kemudian
menanam benda yang telah diberi mantra tertentu pada tujuh titik aliran hitam
di Jawa. Legenda Aji Saka pun tidak lepas dari anggapan datangnya Dharma
(ajaran Hindu-Budha) ke pulau Jawa.
Pulau Jawa
sempat menemui ketenangannya hingga mencapai beratus tahun kemudian kembali
lagi dikuasai oleh aliran ilmu gaib yang
diantaranya dikenal dengan kejawen, klenik, dan kebatinan. Sehingga pada
awal abad ke-13 datanglah seorang syekh yang dikirim oleh kesultanan Turki
Utsmaniyah ke tanah Jawa, namanya ialah Syekh Subakir. Ialah yang pertama kali
menebar ilmu ajaran islam di tanah Jawa.
Syekh Subakir
yang mengetahui pengaruh gaib di tanah Jawa pun memasang batu hitam dari Arab yang disebut dengan
Rajah Aji Kalacakra di Magelang, tepatnya di Puncak Gunung Tidar. Di masa itu
pula ilmu kebatinan berkembang lagi menjadi ilmu ketabiban, kanuragan,
kawaskitaan, kekebalan, kesaktian, dan pengasihan serta tenaga dalam. Kemudian
pada masa setelah itu barulah islam semakin berkembang lagi di tanah Jawa
dengan ajaran dari wali songo.
Beranjak dari
sejarah tersebut, ada buku yang berjudul “Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi
Dalam Kebudayaan Jawa” yang merupakan buku hasil analisis dari seorang tokoh
asal California, Amerika Serikat yakni Clifford Geertz. Dalam analisisnya di
Kota Mojokuto seperti apa yang dipaparkan di dalam buku, ia membagi islam Jawa
menjadi 3 bagian yakni abangan (berasal dari unsur tani), santri (berasal dari
unsur pedagang dan beberapa bagian unsur tani), serta priyayi (berasal dari unsur
keningratan atau yang bergelut dalam bidang birokrasi). Dalam hal ini Clifford
menjelaskan panjang lebar terkait islam jawa dalam pandangannya.
Apabila dibedah
lebih jauh lagi yng coba dijelaskan oleh Clifford mengenai abangan sendiri
ialah tradisi keagamaan yang dilakukannya. Tradisi tersebut meliputi adanya
pesta upacara tertentu yang disebut dengan selametan. Dalam selametan ini
mengumpulkan masyarakat dalam suatu
tujuan tuan rumah dalam mencapai hajat atau berhubungan dengan peristiwa yang
ingin diperingati. Bisa saja mengenai kelahiran, kematian, mengganti nama,
panen, khitan, pernikahan, pindah rumah, dan masih banyak lagi yang berkaitan
dengan semua itu.
Di dalam selametan
yang diadakan terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan dan hal tersebut
disesuaikan dengan tujuan serta maksud dari adanya selametan tersebut. Adapun
yang dipersiapkan biasanya berupa dupa dan makanan khas tertentu. Acara pun
dilakukan dengan adanya pembacaan doa, selametan pun umumnya dilakukan setelah
maghrib dan hanya boleh dihadiri oleh kaum lelaki.
Namun orang
abangan tidak pernaah lepas dari kepercayaannya terhadap hal yang dianggap
takhayul seperti lelembut, arwah leluhur, dan kepercayaan terhadap hal mistik
lainnya. Mereka tetaplah dari kalangan muslim, hanya saja tidak terlalu terikat
pada patokan sholat lima waktu, puasa, zakat, dan hal yang umumnya dilakukan
sebagai suatu kewajiban dalam islam itu sendiri.
Kemudian ada
kalangan santri. Dalam hal ini kalangan santri merupakan sekumpulan orang yang
menjalankan syariat islam dengan baik dan benar. Menjalankan setiap
kewajibannya namun kurang memberikan toleransi terhadap muslim yang tidak
mengerjakan ajaran islam secara menyeluruh. Mereka cenderung memberikan label
buruk terhadap golongan yang dianggapnya tidak menjalankan syariat dengan baik.
Dan yang
terakhir ialah kaum priyayi. Yang digambarkan oleh Clifford, kaum priyayi
adalah kaum yang secara turun-temurun melakukan serangkaian peribadatan yang
masih erat kaitannya dengan budaya Hindu-Budha dan biasanya dari kalangan
ningrat dan yang bergerak dalam kalangan pejabat sipil dalam kerajaan. Umumnya
kalangan priyayi ini lebih tertata dalam budi luhur, disiplin baik jiwa dan
raga, masih terikat dengan sedikitnya beberapa praktik mistik, memiliki
ketajaman naluri dalam tingkah lakunya sehari-hari.
Kalangan priyayi
pada dasarnya memeluk agama secara formal, namun ada pula yang secara
terang-terangan memperdalam kebatinannya. Mereka yang tenggelam dalam kebatinan
cenderung longgar dan agak acuh terhadap ajaran islam. Sedangkan priyayi lain
yang memeluk agama islam juga sedikit longgar dengan agama islam namun dalam
hal keagamaan mereka lebih toleran, karena menganggap tuhan tetaplah satu namun
jalan yang ditempuh berbeda-beda dalam keyakinannya.
Ada pula dibahas
dalam buku ini mengenai fenomena Sunan Kalijaga yang memiliki latar belakang
seorang santri, namun dalam dakwahnya menyertakan beberapa adat kepercayaan
tanah Jawa masa lampau yang erat kaitannya dengan upacara hindu-budha. Dalam
hal ini ia kemudian dianggap sebagai seorang abangan, atas dasar polah
tingkahnya yang memadukan antara ajaran islam dengan kebudayaan setempat.
Meski demikian
nyatanya apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga membawa dampak yang lumayan
besar kepada masyarakat Jawa. Kesenian yang diampunya menjadi daya tarik
tersendiri terhadap kalangan menengah kebawah yang masih memegang teguh
kepercayaan nenek moyang.
Komentar
Posting Komentar