Perbandingan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, serta Jantera Bianglala dengan Film Adaptasinya Yakni “Sang Penari”
Perbandingan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini
Hari, serta Jantera Bianglala dengan Film Adaptasinya Yakni “Sang Penari”
Ronggeng Dukuh Paruk, diawali kisahnya
dengan menceritakan secara keseluruhan penampakan dan flora fauna di Dukuh
Paruk. Lengkap pula dengan penggambaran rumah di desa tersebut yang konon
diceritakan sebagai rumah dari seketurunan moyangnya yakni Ki Secamenggala.
Pada kenyataannya Ki Secamenggala merupakan orang yang dibenci dalam kehidupan
bermasyarakatnya, meskipun demikian di dalam pedukuhan tersebut Ki Secamenggala
dalam tempat peristirahatannya sangatlah diagungkan, dikeramatkan, dan
dihormati oleh semua masyarakat desa. Bahkan, dalam pekuburannya terdapat
beberapa sesaji dan kemenyan yang mengindikasikan betapa kuatnya nilai
kepercayaan kebatinan masyarakat desa dengan berpusatnya peribadatan di
pekuburan tersebut.
Tersebutlah
di tepian kampung, yakni tiga orang anak lelaki yang bernama Rasus, Warta, dan
Darsun. Mereka tengah berupaya mencabut singkong dalam perakarannya yang kuat.
Dengan tangan kecil dan tenaga minim mereka mencoba mencabut singkong tersebut
pada lahan yang kering. Hingga muncullah ide pada Rasus untuk mengencingi saja
bagian batang ke bawah agar tanahnya gembur dan singkong bisa ditarik dengan
mudah. Setelahnya mereka melakukan adu tenaga guna mengambil bagian singkong
yang ada.
Kemudian
ada gambaran dimana Srinthil tengah menari dengan mendendangkan lagu ronggeng
yang dianggap sulit. Disana terjadi percakapan antara Rasus, Warta, Darsun, dan
Srinthil. Dengan sebuah kesepakatan Srinthil mau menari asal diiringi oleh
tiruan tabuhan alat musik melalui mulut ketiga anak lelaki tersebut. Dari
kejauhan, kakek Srinthil yakni Sakarya memperhatikan dari jauh peristiwa
tersebut. Ia meyakini bahwa cucunya tersebut telah mendapat wangsit yang mulia
bagi dunia ronggeng di desa tersebut.
Suatu
hari Srinthil pun didapuk sebagai ronggeng baru setelah Sakarya dan dukun
ronggeng di desa itu yakni Kartareja meyakini adanya wangsit itu pada Srinthil.
Mereka pun menggelar pertujukkan ronggeng setelah sekian lama tiada lagi
ronggeng akibat insiden belasan tahun lalu akibat tragedi tempe bongkrek buatan
Santayib, ayah Srinthil. Tragedi itu bermula di kala Santayib tidak menyadari
bahwa olahan tempenya tersebut tercemar zat beracun sehingga banyak korban
berjatuhan akibat memakan tempe bongkrek tersebut.
Banyak
anak di desa itu yang kemudian menjadi yatim piatu, termasuk Rasus yang
kemudian hanya tinggal dengan neneknya. Tak terkecuali Srinthil, sebab demi
menyelamatkan harga diri Santayib akhirnya Santayib dan istri turut mengonsumsi
tempe bongkrek tersebut. Sungguh liku kehidupan yang rumit.
Setelah
Srinthil dipuja dan dimuliakan oleh masyarakat desa itu, Srinthil menjadi
sangat jauh dengan Rasus. Padahal sebelum ini mereka sangaat dekat dan suka
bermain dibawah pohon nangka. Rasus yang harus menerima kenyataan itu sangat
kecewa, karena dirinya yang tidak pernah mengetahui raut wajah ibunya selalu
membayangkan sosok itu ada pada seorang Srinthil kecil yang usianya terpaut
tiga tahun lebih muda dari dirinya.
Rasus
terus merenung dan merasa kesepian sebab tidak bisa lagi bermain dengan
Srinthil. Meski begitu ia tetap menaruh perhatian kepada Srinthil, ini
dibuktikan saat Srinthil menggunakan keris yang terlalu besar oleh karenanya
Rasus memberikan keris kecil peninggalan ayahnya kepada Srinthil. Srinthil pun
merasa senang
Lalu
pada bagian trilogi kedua yakni yang berjudul “Lintang Kemukus Dini Hari”
dimulai sekitar tahun 1964. Pada bagian ini kisah cinta Srinthil dan Rasus
mulai terlihat. Srinthil yang mengagumi Rasus seiring dengan berjalannya waktu
harus menelan pil pahit tatkala Rasus memilih untuk pergi meninggalkan Dukuh
Paruk demi perjuangannya bergabung dengan keanggotaan militer Republik
Indonesia pada saat itu. Dengan hati yang menanggung luka, hari demi hari
Srinthil mulai memperlihatkan bibit kerisauannya terhadap perasaan dirinya
sendiri terhadap Rasus. Hal tersebut membuat Srinthil sampai tidak ingin
meronggeng lagi.
Hingga
tak berselang waktu yang cukup lama, Srinthil pun mau kembali meronggeng namun
di kesempatan yang berbeda dimana ia kini tampil dalam pementasan perayaan 17
Agustus di daerah Dawuhan. Kemudian disinilah Srinthil bertemu langsung dengan
tokoh Bakar yakni seorang yang dianggap telah membuat Desa Dukuh Paruk sedikit
terlepas dari belenggu kemunduran, padahal pada kenyataannya Bakar merupakan
tokoh munafik yang lihai bermain peran baik dibalik topeng busuk kepartaian
yang dianut olehnya.
Sejauh
buku kedua ini dibahas, maka sampailah jua pada trilogi ketiga yang berjudul “Jentera Bianglala”. Kisahnya dimulai pada
rentan waktu sekitar tahun 1965, yang disini sudah gencar terkuak mengenai PKI
dan antek-anteknya. Selain itu ada selayang pandang petikan kisah dibalik cinta
Srinthil dan Rasus. Bagaimana tidak, sebenarnya yang terjadi ialah
ketidakjujuran Rasus pada dirinya sendiri. Ia tidak pernah sekalipun mencintai
Srinthil, semua yang ia tunjukkan sekalipun telah berulang kali bersenggama
dengan Srinthil hanyalah sebatas keinginan palsu belaka, walau kemudian mereka
tetap bersatu disaat Srinthil sudah mencapai ambang batas kewarasannya, Rasus
yang menyadari itu memilih untuk mengambil Srinthil menjadi seseorang yang
spesial di hidupnya.
Kini
sampailah kita pada pembedahan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk ini dengan adaptasinya
pada film “Sang Penari”. Saya dibuat cukup tercengang dengan perbedaan drastis
dari apa yang bisa saya amati antara novel dengan film. Di sisi lain saya patut
bersyukur karena tak berekspektasi tinggi terhadap khayalan pada film, sebabnya
saya menonton film tersebut lalu mulai membaca novel karya Ahmad Tohari itu.
Ada
banyak perbedaan yang tidak bisa saya jabarkan detail dan menyeluruh sebab
kepentingan agar tidak terjadi spoiler. Cukup beberapa saja yang perlu
sedikit dikupas. Seperti halnya penggambaran dalam novel dengan kisah yang
berbanding sangat jauh. Di film tragedi tempe bongkrek berlangsung saat
Srinthil sudah mulai tumbuh sebagai anak-anak, sedangkan di dalam novel kejadian
itu berlangsung saat Srinthil masih seorang anak bayi yang masih menyusu.
Kemudian ada pula mengenai Rasus yang memberikan keris peninggalan ayahnya
untuk Srinthil agar terlihat sepadan dengan tubuh mungilnya saat menari.
Sedangkan di dalam film, keris itu ditemukan oleh Rasus pada saat adanya
tragedi tempe bongkrek yang menghilangkan banyak nyawa di Dukuh Paruk. Keris
itu adalah milik Ronggeng terakhir yang meninggal akibat tragedi na’as itu.
Belum
lagi keadaan dimana Rasus digambarkan tengah mencintai seorang Srinthil dari
masa kanak-kanak, padahal di dalam novel nyatanya Rasus hanya ingin mencari
kasih sayang yang pernah hilang dari hidupnya, yakni kasih ibu. Rasus pun
mencari itu pada Srinthil kecil. Selain dari itu yang membuat saya merasa
kecewa adalah ada banyak bagian novel yang dihilangkan di dalam adegan film.
Sehingga hal ini membuat saya berasumsi bahwa film adaptasi ini lebih berfokus
pada penekanan romansa, sehingga sisi lain dari kejadian tahun pasca kemerdekaan
itu seakan kurang lengkap dipertontonkan pada khalayak ramai.
Adapun
pada film “Sang Penari” disajikan akhiran atau penutup yang tidak jelas. Saya
pribadi merasa tidak mengerti dengan apa yang coba sutradara berikan di akhir
film. Mungkin apabila dikatakan dalam versi saya, ibaratnya sudah mulai
gemericik api yang menyenangkan itu membara tapi harus teredam oleh kesalahan
sepercik air yang entah sengaja atau tidak dijatuhkan dalam kobaran api.
Bagaimana
tidak jika saat telah bebas dari tawanan saat itu, Srinthil dan penabuh gendang
melakukan pertunjukan di sebuah pasar. Disitu Srinthil menggunakan pakaian
ronggeng juga make up yang sungguh keterlaluan tebalnya. Lalu dari
kejauhan datanglah mobil jeep yang ditumpangi Rasus, sehingga gerombolan
pertunjukan itu berhenti sebab Srinthil memilih pergi menjauh dari Rasus.
Sebenarnya
untuk ukuran sebuah novel yang diangkat ke dalam film, akan lebih baik jika
ditekankan pada sisi yang sekiranya perlu diketahui oleh masyarakat. Entah
kisah akan gejolak di tahun bersejarah, kisah pilu pribumi, atau apapun yang
berkaitan dengan pembentukan nilai karakter pada generasi maju ini. Meski
demikian juga harus pandai memilih tokoh pemeran jua penggambaran secara real
apa yang ada di dalam buku.
Tak
berhenti sampai disitu, adapun yang perlu diperhatikan di sisi lain ialah
tentang perombakan sedikit pada isi novel. Bila dirasa perlu, ada baiknya
diminimalisir sebagaimana mestinya, pun jangan sampai ditambahi dengan beberapa
adegan yang tidak sama seperti keadaan di dalam novel. Bagi seorang pecinta
buku, ini terlihat sepeeti kecacatan yang hampir tidak bisa ditolerir sebab
bisa merusak ekspektasi juga harapan yang dibangun akan film yang ditontonnya.
Ini
tidak terjadi sekali dua kali dalam kancah perfilman Indonesia. Seperti yang
kita tahu film Bumi Manusia juga merupakan adaptasi dari novel yang berjudul
sama karya sang legendaris Pramoedya Ananta Toer. Banyak adegan terpotong dan
tak sesuai dengan isi novel, ini membuat keluhan banyak berdatangan dari
penikmat novel edisi pulau buru tersebut.
Sebenarnya
bisa dimaklumi apabila yang diperhatikan ialah durasi film. Kalau seandainya
itu kuat dijadikan alasan, maka mungkin bisa saja diakali dengan pembuatan film
yang terjadi dengan beberapa edisi satu, dua, dan seterusnya. Atau pilihan lain
ialah seperti apa yang telah dijabarkan di atas.
Secara
keseluruhan apabila ditinjau baik dari sisi film maupun novel ada beberapa
amanat yang bisa ditangkap oleh semua orang. Beberapa diantaranya ialah
perilaku orang pasca kemerdekaan yang masih bergelung dalam keyakinan mistik
yang membawa kemunduran, selain itu terdapat ironi yang menggambarkan bahwa
suatu adat sekalipun dinilai buruk tetaplah harus dilestarikan, ada pula sikap
mudah ikut arus yang terjadi akibat kebodohan satu desa yang tidak tahu menahu
mengenai perpolitikan yang sempat memanas dan diketahui saat itu merupakan
zaman dalam masa pimpinan Soeharto.
Dalam
hal ini kita diajak untuk merenungi kembali peristiwa yang terjadi kala itu
dengan sikap yang merelevansikan dengan zaman sekarang. Bukan tidak mungkin
apabila kasus yang berbeda itu terjadi dengan rasa yang sama seperti pada saat
masa kelam itu. Mungkin ini bisa dikaitkan dengan sisi kebodohan yang masih
dipelihara oleh setidaknya sebagian orang di tengah masyarakat.
Kita
tak dapat menampik bahwa para tetua yang masih ada, pemuda bahkan pemudi yang
terseret kepercayaan kuno masih berselimut kebodohan dan mengandalkan hal
mistik untuk keperluan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pada zaman ini.
Untuk itu sebagai muda-mudi harusnya kita mampu menela’ah hal tersebut,
menjauhi, atau bahkan bila bisa turut andil dalam memberikan pemahaman yang
cukup bahwa hal semacam itu tidaklah lagi diperlukan pada zaman teknologi canggih
seperti sekarang ini.
Komentar
Posting Komentar