Opini Film : "Kucumbu Tubuh Indahku"

Produser             : Ifa Isfansyah

Sutradara           : Garin Nugroho

Penulis                : Garin Nugroho

Pemeran             : Muhammad Khan, Raditya Evandra, Randy Pangalila, Sujiwo Tedjo, Teuku Rifnu Wikana, dll

Rilis                      : 13 Desember 2018 dan 18 April 2019

Kucumbu tubuh indahku, merupakan film yang pertama kali ditayangkan di acara Festival Film Internasional Venesia ke-75 lalu juga ditayangkan di Festival Tiga Benua Nantes, sedangkan di Indonesia pertama untuk kalinya ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival yakni pada tanggal 13 Desember 2018. Untuk penayangan film di bioskop baru pada tanggal 18 April 2019.

Film ini pernah menuai kontroversi setelah penayangannya di bioskop, sekiranya dua petisi telah mencoba menurunkan film ini sebab menganggap bahwa film ini jauh atau bahkan bertentangan dengan nilai budaya di Indonesia sendiri. Sebagai akibat daripadanya, film ini dilarang tayang dalam tujuh kota dan kabupaten dari lima provinsi. Padahal film ini telah meraup pencapaian yang patut diapresiasi, diantaranya ialah delapan penghargaan dari 12 nominasi.

Film dibuka dengan narasi seorang yang menceritakan bagaimana ia mengerti perihal tubuh yang merupakan tempat dari jiwanya, dan bagaimana tentang perasaan serta gerak tubuh yang tiada memiliki batasan. Kemudian dilanjutkan oleh kisah dengan tokoh utama bernama Juno. Sekilas nampak era yang digambarkan pada era lampau, yang setelahnya diketahui bahwa itu adalah masa reformasi dimana seluk-beluk kehancuran masa lalu mengenai partai terlarang masih menghantui.

Juno yang hanya tinggal bersama ayahnya harus menelan kenyataan pahit, dimana sang ayah memilih untuk mengadu nasib di lain kota hanya untuk menyembuhkan luka trauma yang diterimanya di masa lampau. Juno yang sendirian pun kemudian bertemu dengan seorang seniman Lengger, dimana mulai pada saat itu dia mempelajari tarian dengan tekun. Sampailah ia menemui tragedi dimana sang seniman melakukan pembunuhan terhadap salah seorang anak didiknya karena telah melakukan hal yang tidak senonoh.

Kehidupan Juno berlanjut, tantenya menjemput Juno dan menyekolahkan Juno dengan baik. Di kediaman tantenya Juno pandai mengenali bagaimana ayam itu akan bertelur atau tidak. Sampai suatu ketika banyak orang di desa sana pergi meminta bantuan Juno untuk melihat kondisi ayam mereka, kejadian ini diketahui oleh tante Juno sehingga Juno pun dihukum dengan tusukan pada jarinya. Atas insiden itu Juno dikucilkan oleh teman-temannya di sekolah. Tak berselang waktu yang lama, Juno menemukan guru seniman lagi untuk mengajarinya tarian lengger. Namun lagi dan lagi, Juno menemui masalah dengan guru tarian lenggernya tersebut.

Kisah beralih dimana Juno pergi kerumah pamannya yang berprofesi sebagai seorang penjahit. Juno pun dengan cepat mempelajari teknik menjahit bahkan dapat mengukur tubuh tanpa menggunakan meteran. Disini Juno bertemu dengan seorang petarung yang menjahitkan baju untuk pernikahannya. Hal yang tidak terduga terjadi, sebab diantara keduanya kemudian ada suatu hal yang menyalahi aturan. Tak berhenti sampai disitu, kejadian kembali terulang pada kehidupan Juno. Juno dalam pencarian jati dirinya terlihat tidak baik-baik saja. Ternyata semua keluarga Juno mengalami trauma, baik dari silsilah keluarga besar bahkan sampai ke Juno sekalipun.

Apabila sudah menonton film ini, patutlah ada perasaan geli, aneh, dan hal semacamnya. Bagaimana tidak kalau ternyata film ini menyajikan seseorang yang tengah mencari jati dirinya dan bisa dikatakan bahwa akhirnya dia seperti seorang yang memiliki kelainan seksual. Seorang Juno yang digambarkan memiliki sosok feminis dalam dirinya, bahkan dia pun mengakui adanya pergolakan batin di dalam dirinya sendiri.

Jatuh cinta kepada sesama jenis, memperlihatkan sosok lain yang seharusnya tidak mendominan dalam diri Juno, dan semua trauma yang menyebabkan dirinya harus terkungkung dengan keadaan yang tidak dapat dia perkirakan. Juno adalah korban, dia tetap seseorang yang tidak mendapat pengertian khusus mengenai apa yang salah dan benar dalam hidupnya, hukuman selalu menjadi teman dan penghakiman adalah wujud tebusan yang harus dibayarkannya atas ketidaktahuan.

Untuk film ini sendiri begitu pantas mendapat apresiasi publik, terlepas dari beberapa adegan yang terlihat fulgar dan sedikit memacu adrenalin. Toh, film ini sudah berlabel 21+ dimana memang seharusnya ditonton oleh usia dewasa. Dari film ini yang menawarkan sisi feminin pria serta maskulin dalam waktu yang bersamaan cocok untuk ditonton sebagai bahan acuan diskusi maupun bahan dalam mengukur antara stereotip masyarakat dengan keadaan dalam sudut pandang pelaku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!