"Sang Penari" Adaptasi Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
Resensi
Film Sang Penari
Sang
Penari, 10 November 2011 merupakan film garapan Salto Films yang disutradarai
oleh Ifa Isfansyah. Sebenarnya film ini merupakan adaptasi dari novel seorang
penulis yang terkenal yakni Ahmad Tohari dengan judul buku Ronggeng Dukuh
Paruk. Buku novel tersebut pertama kali dicetak pada tahun 1982 dan Sebelumnya
di tahun 1983 telah digarap dalam film yang berjudul "Darah dan Mahkota
Ronggeng".
Secara
garis besar pasti yang dipertanyakan ialah bagaimana alur dari cerita ini
tersampaikan, apakah cukup menarik untuk diulas lebih jauh. Dalam seri buku
belumlah terbaca sama sekali, maka daripadanya saat menonton film "Sang
Penari" ini tiada ekspektasi yang perlu disesali sebagaimana jika biasanya
seseorang membaca buku lalu menonton filmnya. Mungkin saja hal tersebut membuat
ekspektasi tinggi terpatahkah, belum lagi keluhan adegan di beberapa bagian
novel yang bahkan tak sempat diadegankan dalam film.
Singkatnya
film ini berlatar di sebuah Desa yang masyarakatnya terkungkung dalam
kebodohan, kemiskinan, kelaparan, serta masih kental dengan hal-hal magis
utamanya yang bersangkut paut dengan leluhur yang mereka hormati sejak masa
lampau. Pada tahun 1960-an lebih tepatnya waktu yang diketahui di dalam film,
bertepatan dengan gejolak politik Indonesia pada saat itu.
Film
dimulai saat dimana Srintil kecil harus menelan pahitnya pil kehidupan, disaat
kedua orangtuanya dianggap telah membunuh dan meracuni Sang Ronggeng Desa Dukuh
Paruk tersebut lewat makanan racikannya, yakni dongkrek (Fermentasi
tempe). Sejak saat itu penari ronggeng tidak ada lagi di desa tersebut, namun
ada adegan dimana teman kecil Srintil yakni Rasus menemukan sebuah keris milik
Sang Penari Ronggeng.
Di
masa belianya yang sudah mulai merekah, timbullah keinginan dalam diri Srintil
untuk menjadi seorang penari Ronggeng. Namun disaat itu ia mendapat
pertentangan dari teman masa kecilnya yakni Rasus, juga dukun ronggeng di Desa
tersebut yang menganggap bahwa penari ronggeng itu bukan dipilih dari sembarang
orang. Srintil tetap pada pendiriannya yang ingin menjadi Ronggeng, ia pun
berusaha meyakinkan Rasus untuk mempercayai dirinya.
Rasus
yang tak tega pun menyerahkan kepada Srintil sebuah keris yang ia temukan saat
sepeninggalnya penari Ronggeng yang terakhir itu. Srintil menerimanya dan
menunjukkan keris tersebut kepada kakeknya, maka saat itulah dukun ronggeng
memulai segala bentuk persiapan untuk mengangkat Srintil menjadi penari
ronggeng di desa itu.
Selang
beberapa waktu, suatu adat pun harus dijalani oleh Srintil. Adat yang cukup
tidak bisa dibayangkan oleh nalar dimana sebagai seorang penari ronggeng
Srintil yang akan dianggap tinggi derajatnya apabila sudah "membuka
selambu" itu dimaksudkan ialah untuk para pemuda mau pun lelaki desa bisa
menyetubuhi Srintil dengan imbalan yang pas atas itu.
Srintil
yang ketakutan mengatakan semuanya pada Rasus apa yang dirasakan olehnya. Rasus
yang sudah lama tersulut api kemarahannya hanya bisa membentak Srintil. Sampai
tiba di malam "buka selambu" itu akhirnya saat semua orang masih memperdebatkan
siapa yang lebih dulu memerawani Srintil, Rasus pun pergi menjemput Srintil
sehingga yang memerawani Srintil ialah Rasus sendiri.
Hari
demi hari berlalu, kegemilangan Srintil semakin menjadi-jadi. Saat itulah Rasus
tak lagi berada di desa, ia memilih untuk menjadi anggota tentara yang mengabdi
pada negara. Srintil mulai merasa rindu dan mempertanyakan keanehan yang
terjadi pada Rasus. Dan di waktu yang sama, muncul seorang politikus asal kota
yang bernama Kang Bakar, ia memantik semangat rakyat yang bodoh dengan masukan
kalimat-kalimat yang sebenarnya tidak diketahui oleh masyarakat Desa Dukuh
Paruk.
Hal
tersebut menyebabkan malapetaka besar mengenai politik yang terjadi di tahun
1965. Desa Dukuh Paruk yang pada dasarnya tidak mengerti apa pun akhirnya turut
hancur baik secara fisik mau pun mental sebab kebodohan mereka sendiri tentang
adanya tipuan politik oleh Kang Bakar yang merupakan salah seorang anggota
partai. Semua orang desa terseret konflik bahkan sampai divonis sebagai
pengkhianat negara. Semua orang desa ditahan, termasuk Srintil. Hingga
ketegangan itu berakhir dan Srintil dibebaskan, ia kembali menari dengan
tabuhan gendang namun tak lagi mengikutkan budaya "buka selambu"
seperti pada era lampau. Karena ronggeng menurutnya merupakan kehidupan desa
dan wujud bagi dirinya dalam mengabdikan diri pada tanah kelahiran.
Apabila
dinilai bagi saya seorang awam yang tak memiliki segi penilaian yang cukup
tertata, mungkin akan saya beri nilai 8. Film ini cukup menggambarkan betapa
keadaan di masa lampau sungguh sangat mengerikan, dimana perpaduan budaya yang
masih mengandalkan spiritual dan kepercayaan adat dan sifatnya agak menyeleweng
dari hak asasi manusia sendiri. Salah satunya yang sangat mencolok ialah budaya
"buka selambu" dari penari ronggeng, daripada wujud penghargaan
terhadap harga diri wanita itu lebih mirip dengan pelecehan yang berkedok
kebaikan bagi seluruh desa sebagai wujud hormat akan leluhur.
Selain
itu, di masa 1960-an mengisyaratkan bahwa di desa masih saja menderita kebodohan,
kemiskinan, serta kelaparan yang masih luput dari fokus pemerintah. Hal ini
membuat masyarakat desa lebih mudah diperdaya dan diperalat oleh kaum atasan
yang tidak bertanggungjawab. Cukup menyedihkan bahwa hal tersebut harus terjadi
di masa kemerdekaan sedang harum-harumnya, namun permasalahan masyarakat masih
belum terentaskan. Selain itu, film Sang penari yang dibintangi oleh Prisia
Nasution (Srintil) dan Oka Antara (Rasus) ini sudah sangat baik dan layak
diangkat ke layar lebar nasional namun beberapa adegan tidak untuk ditonton
oleh usia 18 tahun kebawah sebab merupakan adegan dewasa.
Komentar
Posting Komentar