Resensi Buku : "Dunia Sophie"
Resensi Buku
Judul : Dunia Sophie
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan
ISBN : 978-979-433-574-1
Jostein Gaarder,
pria kelahiran Oslo, Norwegia pada 8 Agustus 1952 merupakan seorang intelektual
yang menjadi seorang guru filsafat. Oleh sebab itu ia terilhami oleh
kecintaannya terhadap ilmu filsafat sehingga mengantarkan ia menjadi seorang
penulis novel yang kualitasnya tidak diragukan lagi. Namanya menjadi sangat terkenal
tatkala ia menyajikan buku-buku yang berbau filsafat namun dikemas dalam gaya
yang populer.
Sekitar pada
tahun 1991, novel filsafatnya Sophie`s
World (Dunia Sophie) berhasil meraup keberhasilan dan merupakan buku fiksi
terlaris di mancanegara pada tahun 1995. Buku Sophie`s World telah diterjemahkan dalam 50 bahasa dunia, ini
mengindikasikan bahwa kehebatan pengaruh buku ini tidaklah lagi diragukan.
Sejak saat
kesuksesannya melejit, Jostein memilih untuk beralih profesi sebagai penulis
profesional. Karya-karya lainnya yang berhasil ia tulis meliputi diantaranya The Orange Girls, Princess of Tales, The
Magic Library, Anna`s World, The Puppeteer, House of Tales, dan lain
sebagainya. Selain menulis Jostein juga mengampanyekan pelestarian lingkungan
yang didirikan bersama dengan istrinya.
Dunia Sophie,
merupakan buku paling unik yang pernah saya baca. Buku ini tidak serta merta
menggambarkan filsafat dengan beribu kalimat sulit yang meminta untuk dipahami.
Cerdasnya buku ini menjelaskan filsafat dari sejak awal perkembangannya di
Yunani hingga sampai abad ke-20 melalui sudut pandang anak berusia 14 tahun,
bernama Sophie.
Awalnya, Sophie
adalah gadis biasa seperti anak-anak lain seusianya. Hingga suatu saat dimana
ia tengah memeriksa kotak pos sepulang sekolah dan dia menemukan surat yang
ditujukan untuk dirinya. Isinya dimulai dari mempertanyakan siapakah dirinya
sebenarnya, bagaimana jagat raya terbentuk dan lain sebagainya. Hal ini membuat
sepintas pertanyaan besar dalam diri Sophie, bahkan Sophie pun menolak ajakan
teman sekolahnya untuk bermain. Entah mengapa dia merasa harus mempelajari dan
merenungi surat-surat yang datang kepadanya silih berganti.
Sejak saat
itulah Sophie mulai mempertanyakan bahkan hal-hal kecil disekitarnya yang tak
luput dari perhatian, termasuk hal mendasar yang tak pernah dipikirkan oleh
orang lain mau pun orang dewasa yang sibuk dengan rutinitasnya. Sophie mulai
mempelajari filsafat dengan hanya berbekal surat-surat yang hadir khusus untuk
mengajari dirinya.
Sophie mulai gencar
mencari dan bahkan menemui sendiri jawaban atas pertanyaan mendasar tentang
makna dan tujuan dari kehidupan, mengenai alam semesta dan isinya, pencapaian
dalam hidup, serta cara hidup yang baik. Namun hal ini tentunya tak mudah bagi
seorang Sophie yang masih menginjak usia 14 tahun, dimana saat menghadapi
beragam pertanyaan mendasar seperti itu harus diimbangi dengan terbukanya
pikiran dan keikhlasan untuk menjalani prosesnya yang cenderung rumit.
Ada banyak
amanat yang diperoleh dari buku ini. Dalam kehidupan, tentulah kita dihadapkan
dengan berbagai persoalan yang mungkin luput dari pandangan. Katakanlah salah
satunya ialah adanya sebuah kalimat filsafat yang menuturkan bahwa “aku berpikir
maka aku ada” ini mengartikan bahwa sebenarnya satu-satunya hal yang pasti di
dunia ini ialah keberadaan dari manusia itu sendiri.
Dalam
pengertiannya, dapat juga diartikan bahwa seseorang baru dikatakan hidup
apabila ia menggunakan akal pikirannya untuk berpikir dan menalar. Dalam
berpikir pun membutuhkan sebuah proses dimana didalamnya terdapat tujuan juga
esensi yang menyertai. Jika ditilik lebih jauh sebenarnya buku ini tak pernah
jauh pokok pembahasannya mengenai dunia nalar yang bersifat radikal dan kurang
wajar bagi kaum awam.
Maka daripadanya
buku ini mungkin akan sangat cocok bagi kaum terpelajar atau pun orang-orang
yang ingin mempelajari filsafat dengan gaya pendongengan yang berbeda dengan
buku teori dan filsafat pada umumnya. Lintasan sejarah yang dikombinasikan
dengan peristiwa kehidupan menjadi daya tarik yang menawan dan cenderung lebih nyaman
dalam pengantar filsafat itu sendiri.
Dalam segi cover
yang ditawarkan sudah sangat menarik, dengan warna latar biru tua yang elegan
serta siluet seorang gadis yang membawa lentera. Lebih kurangnya, itu seperti
sedang menggambarkan bahwa kehidupan sebelum adanya filsafat merupakan
kehampaan yang diilustrasikan dengan gelapnya malam, kemudian beberapa lentera
dan satu lentera yang dipegang oleh si gadis ialah cahaya pengetahuan tentang
tabir alam semesta dalam kungkungan pikiran yang sifatnya radikal.
Dalam segi
bahasa sudah cukup mudah dipahami oleh pembaca, buku ini hampir tidak memiliki
celah kekurangan sedikit pun maka atas alasan itulah mungkin buku ini laris di
pasaran dengan jutaan copy yang beredar.
Komentar
Posting Komentar