Opini : "Harga yang Diatur Meraibkan Obat Covid-19"

Pada Hari Sabtu lalu santer terdengar baik dalam pemberitaan mau pun kabar burung yang disampaikan dari mulut ke mulut. Yah, obat antiviral kini dalam masa darurat. Pasalnya di Kota Jakarta utamanya dan beberapa daerah besar di Jawa obat seperti Favipiravir 200 miligram, Injeksi Remdesivir 100 miligram, Tablet Invermectin 12 miligram dan jenis lainnya mulai langka ditemui. Hal ini dilatar belakangi oleh kebijakan pemerintah yang mulai menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Dilansir dari Koran Tempo, persoalan tersebut memicu kejadian yang hampir sama dengan kasus dimana masker mulai langka. Ada beberapa faktor di belakangnya termasuk penimbunan guna menjualnya kembali dalam harga yang relatif tinggi. Ada pun dari pihak pengelola apotek menyatakan bahwa obat-obatan tersebut benar habis dalam beberapa hari terakhir sejak penentuan HET tersebut.

Apotek terkait yang kehabisan obat-obatan covid-19 tersebut telah memesan ulang obatnya pada instansi pusat Kimia Farma. Namun, dari sana memanglah belum ada pengiriman lagi obat terkait, padahal setiap waktu banyak orang yang berdatangan membawa resep obat yang sama untuk pengobatan mereka.

Ada pun spekulasi mulai lahir dari kalangan masyarakat sendiri utamanya pihak apotek, ada yang berpikiran bahwa penetapan HET dan ancaman pidana membuat pihak apotek terkadang ketakutan. Bahkan memilih untuk tidak menyentuh sama sekali obat-obatan itu sebagai tindakan "mencari selamat". Diketahui harga obat yang dipasarkan ke apotek cenderung lebih tinggi dikarenakan semakin banyaknya jumlah permintaan obat.

Sepanjang waktu hal yang sama mungkin saja akan silih berganti topik namun dengan kasus yang sama. Semakin tinggi permintaan di pasaran, maka semakin naik harga yang ditawarkan. Terkadang keegoisan beberapa oknum tertentu membuat barang yang dicari menjadi langka akibat perbuatan berupa penimbunan barang. Hal seperti ini lumrah terjadi di kalangan masyarakat sendiri. Yang menjadi garis besar ialah bagaimana pola pikir masyarakat sendiri dalam menanggapi kesengsaraan sesama. Tidakkah ini cukup memprihatinkan bahwa ternyata di negara yang bernaung dalam pancasila masih minim akhlak.

Suatu bangsa hanya akan maju apabila lapisan masyarakat dan pemerintah saling bersinergi untuk mewujudkan kemajuan yang diatas namakan kepentingan bersama. Segala bentuk patokan tertulis terkait kewajiban mau pun tujuan serta kata-kata mutiara yang menyertainya akan tidak bernilai sama sekali jika dalam penerapannya masih berupa omong kosong. Kesejahteraan menjadi dambaan bersama, namun dalam hal pendistribusian beberapa barang penting utamanya seperti kasus obat di atas masih dalam keadaan yang mengkhawatirkan.

Hal itu membuat segelintir orang merasa tidak nyaman. Bagaimana dengan lapisan masyarakat bawah yang bahkan untuk membeli obat tersebut sesuai kebutuhannya memerlukan biaya yang menurutnya tak cukup merambah kantong kecil pendapatan keseharian mereka. Ini membuat kesengsaraan semakin menjadi saja. Seandainya, nanti obat tersebut terjual dari beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab dengan harga yang fantastis jumlahnya, tentulah yang bisa membeli hanya dari kalangan atas saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekali lagi kita harus mengakui kegagalan sila ke dua yang bunyinya “Kemanusiaan yang adil dan beradap” yang dalam praktiknya masih saja ada celah untuk dipertanyakan.

Kemudian sebagai bagian dari masyarakat sendiri, peranan kita sangat penting dalam segala bidang. Tak pernah luput dari perhatian, terlepas dari bagian atau tidaknya diri kita dalam keterkaitan pemerintahan utamanya dalam setiap persoalan yang mencakup kepentingan bersama. Dalam hal ini mulai dari diri sendiri untuk mengupayakan agar tidak mementingkan ego pribadi dalam masalah yang seharusnya diselesaikan bersama. Semua orang berharap pandemi segera berakhir, begitu pun segala drama yang tak mengenakkan hati serta menjadi momok tersendiri bagi masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!