HAM(PA)_

HAMPA

“Kau terlihat seperti zombie, bibi,”

Aku terkejut, anak kecil dengan setelan rapi dan comma hair andalannya berdiri disamping kursi santaiku sambil mempertontonkan deretan giginya yang putih.

“Hei, bersikaplah sopan, aku bibimu,”

Tawanya menggelegar, oh aku sadar sudah lama sejak beberapa bulan lalu kami baru bertemu. Kesibukan membawaku sedikit berjarak dengannya.

“Kenapa orang dewasa selalu terlihat monoton dan membosankan. Apakah dewasa itu sebuah kutukan?” tanyanya tiba-tiba.

“Aku tidak akan bicara apapun soal itu, kau akan mengetahui segalanya saat sudah sampai pada masanya. Ngomong-ngomong kenapa kau kemari? Dimana kedua orangtuamu?”

“Mereka mengantarku kemari, dan pergi ke sebuah pesta pernikahan. Aku tidak tertarik, makadari itu aku meminta ayah menurunkanku di depan apartemenmu,”

Aku pikir hari ini adalah hari tenang bagi bulan yang kesekian dimana kesibukan membelenggu diriku. Aku tidak baik-baik saja, dan aku mengakui itu. Tidak ada satu pun alasan bagiku untuk berbahagia, pun tidak ada alasan bagiku untuk bersedih. Tidak ada gairah dan spirit sebagaimana awalnya aku menempati posisi terbaik dalam pekerjaanku, memiliki apartemen sendiri, berbelanja tanpa melihat harga yang tertera, atau pula menikmati karierku dalam dunia perkantoran.

Tidak, jangan iri dengan kamuflase yang kuperlihatkan. Jangan pula memandang diriku sebagai sosok yang patut untuk dicontoh, sungguh itu mengerikan. Selayaknya cotton candy yang kunikmati saat berusia 8 tahun, permen jenis itu cukup besar namun saat kau meremasnya maka ia akan sangat kecil. Pernahkah kau berpikir tentang itu? Jika tidak maka lupakan.

“Kau melamun bibi, berapa kali sehari kau melakukan itu?,” Suara merdu anak lelaki memecah lamunanku.

“Dengar Alister, aku melakukannya hanya saat terdiam dan bingung akan kemauan diriku sendiri,”

“Kau sedang bosan yah bi? Tidak mau mencoba berinteraksi dengan orang diluar sana? Tetangga sebelah pintu mungkin. Kulihat ia seorang yang ramah dan baik,”

“Hanya karena dia baik padamu bukan berarti dia berkepribadian baik. Kau jangan sampai terlalu percaya dengan orang, kau tidak pernah tahu kapan seseorang itu akan menjadi monster bagimu kelak,”

Ia menunjukkan raut tak sukanya yang begitu kentara. Aku membiarkan itu, bocah seusianya tak akan banyak mengambil pusing dengan apa yang ku katakan. Syukur kalau ia mau menela`ah dengan baik, lalu membuatku bangga bahwa seorang keponakan dari Gritte adalah pribadi yang awas sejak dini.

“Bibi, aku pikir merasa hampa itu adalah suatu hal yang wajar. Apa yang terjadi padamu mungkin kau sadari persis itu adalah suatu hal yang diluaran sana banyak diimpikan oleh orang lain. Saat kita telah mencapai apa yang kita inginkan, bukankah kita selalu ingin lebih atau bahkan tidak ingin berada di posisi itu lagi sebab bosan? Ini seperti ciri tidak bersyukur yang sering bunda katakan padaku. Terkadang bibi, aku berpikir apakah orang dewasa tidak pernah mau bangkit dari kejenuhan atau kebosanan yang melandanya?,”

Aku bergeming tak mengiyakan apalagi membantahnya. Oh hei, Gritte apakah sepanjang waktu kau melewatkan pertumbuhan Alister yang notabenenya masih berusia 10 tahun. Astaga, aku pikir aku hampir gila. Aku melihat ia mengulum senyumnya yang manis dengan memperhatikan bola mataku yang hampir saja keluar dari rongganya.

“Tidak apa-apa, tidak ada yang salah dengan itu bibi. Semua orang pasti akan menemuinya, kegelisahan, kebosanan, atau mungkin hal lain sejenis itu. Ada beberapa hal yang memang tidak bisa diselesaikan oleh tangan manusia itu sendiri, kita sebut itu sebagai tugas Tuhan. Kau masih percaya Tuhan kan? Tapi kau tidak melibatkannya dalam hidupmu, bisa saja semua kesulitan terjadi sebab kau tidak memiliki rasa syukur”

“Bagaimana penilaianmu terhadapku?”

“Kau adalah bibiku yang ambisius dan ideal, namun sekali waktu kau menghancurkan itu dengan ketidakpiawaianmu dalam menjalani kehidupan. Kupikir kau pernah dengar bahwa siapapun yang tidak dapat menerima kehidupannya akan selalu mencari penjelasan hingga pada akhirnya ia akan melewatkan bagian terbaik dari hidup,”

Tuhan, aku kehilangan akalku. Benar, apa pun yang dikatakan oleh keponakanku Alister menunjukkan bahwa betapa bodohnya aku sebagai yang dewasa ini. Bahkan anak kecil sekali pun mengerti akan makna kehidupan, sedang aku? Entahlah. Alister terlihat dewasa dibanding dengan anak seusianya yang masih menangis menuntut mainan baru kepada orangtuanya.

Hidup, segala sesuatunya telah diatur menurut porsi terbaik dari Tuhan semesta alam. Baik aku, kau, dia, atau pun mereka sama halnya seenggok daging yang berusaha mencapai hasrat dalam diri yang menggebu. Tidak peduli bagaimana akhirnya, keadaan kurang bersyukur terkadang tertambat pada diri masing-masing orang dengan waktu tertentu. Kita lupa bagaimana keajaiban dan kebaikan tangan Tuhan telah mengatur segalanya.

Mengenai aku yang tidak mau beranjak dari rasa bosanku, aku pikir harusnya mulai saat ini rasa syukur senantiasa ku pupuk dalam hatiku agar tenang jiwaku. Masih belum terlambat, maka kesempatan ini akan kugunakan sebaik mungkin untuk mengenali apa mauku dan bersyukur atas segala keadaan. Dan lagi aku merutuki kebodohanku, aku salah, ternyata kedewasaan tidak diukur oleh usia yang bertambah melainkan dari matangnya pemikiran yang dimiliki. Antara malu dengan canggung yang beradu saat ini, aku bersyukur sebab Alister, keponakanku sendiri yang menegur diriku secara langsung bukan orang lain seusiaku. Oh tidak, itu akan membunuh harga diriku.

“Aku menyayangi rosario ini, tapi aku lebih menyayangimu dari apapun bibi. Jangan begini lagi sebab aku tidak suka, dan bawa ini bersamamu”

Ia bangkit dan memelukku, mencoba untuk mentransfer energi baik yang sangat kubutuhkan disaat-saat seperti ini. Terimakasih sayang, terimakasih Alisterku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!