Tabir Hidup dari Kekerasan dan Kaitan Eratnya dengan Dunia Parenting, Tuhan Adilkah dalam hidup?

“Tuhan memberikan kasih dan sayang-Nya pada semua makhluk yang Ia ciptakan, utamanya yang menghuni alam semesta berikut juga isinya. Tuhan menghendaki adanya porsi keadilan menurut versi yang kita sendiri tidak pernah tahu bagaimana porsi adil yang presisi menurut-Nya,”

Capernaum, ialah film asal Lebanon yang di rilis pada tahun 2018. Film ini menyabet penghargaan dalam beberapa kategori. Siapapun dapat mencari informasi detail mengenai film ini dalam peramban. Betapa patut kita hargai penulis serta sutradara yang telah mengangkat film ini, sehingga setidaknya dapat membuka beberapa pasang mata yang telah buta oleh perkembangan zaman yang tidak diimbangi dengan perkembangan segi intelektual, spiritual dan emosional khususnya untuk para calon dan yang telah menjadi orangtua.

Bicara mengenai orangtua dan peranannya, sepertinya tokoh utama dalam film ini akan mengecam penuh keduanya tanpa terkecuali. Peliknya kehidupan yang digambarkan menunjukkan fenomena sosial yang terjadi pada orang menengah ke bawah di negeri bagian Timur. Sebenarnya, tanpa pengecualian sebagian kecil yang luput dari pandangan justru berada dimanapun bumi dipijak. Ialah mengenai peranan dan tanggungjawab orangtua terhadap putra-putrinya, perihal bagaimana mereka membesarkan dan mendidik mereka baik dalam segi moral maupun psikis.

Zain, menunjukkan dirinya yang sangat menonjol dan dipaksa menjadi dewasa dalam usianya yang masih sangat kecil yakni 12 tahun. Ia harus bekerja, memperhatikan kebutuhan keluarga, serta menaungi segala apa yang diperlukan saudaranya. Sosoknya yang penyayang membuat hatinya berkeras untuk menentang sesuatu apapun yang dianggapnya mengancam dan tidak bisa dibenarkan, tak terkecuali kedua orang tuanya.

Ketidakberdayaan karena status menjadi budak dijadikan tameng untuk melindungi diri sendiri oleh kedua orangtua Zain. Yang dipikirkan oleh keduanya hanyalah uang dan bagaimana bisa memperoleh uang sebanyak-banyaknya agar mereka hidup layak. Bahkan untuk menjual adik perempuan Zain, yang bernama Sahar telah mereka lakukan. Hal tersebut membuat kebencian demi kebencian semakin tertanam dalam diri Zain. Ia merasa tertekan, ingin melindungi adiknya, dan hidup normal seperti anak pada umumnya namun semuanya tentu tidak mampu ia lakukan.

Pada hari dimana Zain berada dalam tahanan ia mempertanyakan keadilan Tuhan yang dianggapnya tidak memberikan kebahagiaan bagi sebagian orang disana, Tuhan hanya memberikan kebahagiaan bagi orang-orang tertentu menurutnya. Dan hidup? Hidup membuatnya justru terlihat seperti anjing yang tidak patut untuk dihargai. Hidup adalah masalah besar, dan Zain menilai bahwa hidup tidak akan lebih berharga dari sepatunya. Ia menganggap dirinya tinggal di dalam neraka, penderitaan yang membentuk jiwa kecilnya merasakan pedih teramat dalam.

Yang Zain inginkan ialah menggugat kedua orangtuanya. Di dalam film ia juga memberikan pesan yang menyayat hati sebagai seorang korban kekerasan dari kedua orangtuanya. Ia ingin semua orang dewasa mendengarkan suaranya, utamanya bagi mereka yang tidak mampu membesarkan anak-anak kandung mereka sendiri. Bahwa segala bentuk kekerasan, penghinaan, dan pemukulan dapat membentuk diri anak menjadi seorang yang rapuh atau mungkin bisa berlaku diluar batas seyogianya anak pada umumnya.

Zain adalah potret dari salah satu yang bisa dilihat oleh orang kebanyakan dalam bentuk film. Daripada hanya film yang sekali dinikmati lalu hilang pesan yang diamanatkan, maka mari berkaca pada sekeliling kita. Tentang bagaimana para orangtua membalut pengajaran kehidupan dengan kekerasan, meminta perhatian dari seorang anak kecil yang bahkan tidak tahu persoalan hidup. Semua itu adalah bentuk pembenaran sepihak yang mereka coba perlihatkan kepada dunia.

Bayangkan, berapa jiwa anak-anak yang psikisnya sakit akibat trauma yang ditorehkan oleh orangtua? Pukulan, makian dan cacian, serta umpatan yang diluar batas penalaran sebagai hubungan kandung antara orangtua dan anak. Sebenarnya apa yang ada di otak mereka? Bagaimana bisa mereka melampiaskan semua beban hidup kepada anak. Semua trauma yang dialami anak akan dibawanya hingga bertumbuh dewasa. Menjadi momok yang menakutkan apabila mereka menemui segala hal kecil yang membuatnya teringat akan masa lalunya. Tak jarang hal ini menghambat seseorang menjadi maju dalam perkembangannya.

Tak hanya satu atau dua kasus serupa yang ditemui dalam hidup, melainkan sudah banyak bahkan yang tidak terlihat oleh mata sekalipun. Pola asuh seperti itu ada bisa karena sebab ketidaksiapan orang dalam mengemban tanggungjawab barunya sebagai orangtua. Seperti yang kita tahu, terkadang kedewasaan tidak dinilai dari seberapa tua mereka menginjak usia dalam angka, tetapi sejauh mana pikiran mereka dapat terasionalkan dengan baik dan bijak dalam menangani setiap masalah yang menimpanya.

Jika siap untuk menikah, siap pula untuk memiliki anak maka harus siap dengan segala tanggungjawab serta konsekuensi yang ada. Jangan jadi bajingan yang hanya dapat bertumpu pada permasalahan yang selalu diratapi dan melimpahkan segalanya dengan mengorbankan jiwa-jiwa lembut tanpa dosa untuk terlibat di dalamnya. Jika kasusnya seperti ini, apakah surga masih atas restu kedua orangtua, utamanya ibu? Dan jika ssudah begini siapakah yang patut disalahkan, entah itu manusianya atau mungkin skenario sang pencipta?

Satu hal penting lain ialah hindari menikah hanya untuk mengikuti trend, hindari menikah tanpa adanya kesiapan mental yang matang, hindari menikah karena menganggap usia sudah tua padahal dari segi emosional masih belum stabil dalam mengontrol diri sendiri. Semua pilihan yang diambil akan membawa kita pada biduk persoalan-persoalan baru dalam hidup, maka penting adanya pertimbangan yang cukup untuk memilih salah satu jalan.

Dan untuk yang sudah menjadi orangtua, kembalikan semua yang dilakukan kepada diri sendiri. Perlakukan anak seperti halnya bagaimana kita ingin diperlakukan. Usia semakin berkurang, masa tua tak akan pernah bisa terhindarkan. Bagaimana pikiran dan perasaan anak yang menjadi korban kekerasan baik verbal maupun non-verbal, tidak pernah diketahui alurnya. Maka bertindaklah sebagai manusia yang bijak dan berlaku sesuai dengan norma yang ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!