Resensi Buku : Max Havelaar

Resensi Buku

Judul                 : Max Havelaar

Pengarang        : Eduard Douwes Dekker

Penerbit           : Qanita, Jakarta

ISBN                  : 978-602-1637-45-6

Multatuli, ialah nama pena dari pria kelahiran Amsterdam pada 2 Maret 1820 yakni Eduard Douwes Dekker. Ia adalah pria berkebangsaan Belanda yang juga pernah bekerja dalam naungan Pemerintahan Hindia Belanda sebagai asisten residen di bumi pribumi, Indonesia. Kurang lebih selama sekitar 18 tahun, Multatuli melihat dan merasakan bagaimana penderitaan rakyat pribumi atas kebijakan Pemerintahan Hindia Belanda. Hatinya terenyuh akan ketidak adilan yang dirasakan rakyat pribumi, bahkan ia sendiri menyaksikan betapa saudara sebangsa setanah air yang meliputi pejabat adipati turut serta menindas rakyat.

Dalam perjalanan hidupnya, multatuli menggunakan sepenuhnya nilai empati dan simpatinya terhadap masyarakat. Dalam dirinya timbul keresahan yang membuat ia akhirnya menuliskan keresahan dalam bentuk sebuah tulisan essai, puisi, dan semacamnya. Bahkan tak ada sedikit pun ketakutan dalam dirinya dalam menuliskan kenyataan mengenai apa yang ia temui, termasuk di dalamnya kekejaman bangsanya yang dianggap melanggar ketentuan Tuhan.

Tulisan-tulisan ini kemudian saat di Negeri Belanda dicoba oleh Multatuli untuk diserahkan kepada temannya, Droogstoppel. Droogstoppel ialah seorang makelar kopi berkebangsaan Belanda, ia termasuk orang yang berkecukupan daripada multatuli sendiri. Maka daripadanya, Multatuli mencoba meminta bantuannya untuk menerbitkan tulisannya. Pada awalnya Droogstoppel tidak menghendaki tulisan itu diterbitkan, namun Multatuli bersikeras menyerahkan hasil tulisannya dan juga membahas mengenai kopi. Dari situlah akhirnya ia membuka berkas milik Multatuli dan menemukan tulisan mengenai kekejaman Pemerintahan Belanda. Kemudian buku ini diterbitkan dengan bahasa Belanda untuk pertama kali dengan judul Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij.

Buku ini sedikit banyaknya menyorot aktivitas di bumi pertiwi. Bahkan pengalaman Mutatuli sendiri menggambarkan secara detail bagaimana bermasalahnya perkebunan di daerah Banten, sebab seperti yang sudah diketahui bahwa tanah Banten tidak cocok untuk ditanami jenis kopi. Praktek penanaman kopi ialah akibat dari adanya sistem tanam paksa yang digalakkan oleh Pemerintahan Belanda, mereka berlaku demikian sebab pemasukan yang diperoleh oleh adipati sedikit daripada penyetoran tanaman pertanian biasanya.

Praktek tanam paksa semakin menyengsarakan rakyat, akibat yang ditorehkan daripadanya ialah terjadinya kemiskinan dan kelaparan yang merajalela sebab lahan banyak digunakan untuk menanam tanaman yang diwajibkan pemerintahan yakni kopi. Bahkan rakyat pribumi sampai memakan donggol pisang yang sebenarnya tidak layak makan. Semua yang terjadi ialah bentuk feodalisme yang masih bertahta kuat di bumi pertiwi. Dalam hal ini masyarakat tidak memiliki daya apapun bahkan hanya sekedar untuk menyuarakan haknya. Salah satunya mengenai ternak yang juga harus diserahkan sesuai dengan arahan dan perintah dari wilayah kekuasaan adipati.

Dari segi cover buku, sudah cocok dengan apa yang digambarkan dalam isinya. Versi terbitan pertama masih menggunakan wajah Multatuli sebagai awalan, namun untuk edisi cetakan di Indonesia menggunakan tokoh yang diceritakan di dalam buku yakni Saidjah dan Adinda yang merupakan sepasang kekasih. Mengenai isi buku, tentulah menggunakan pola bahasa yang cukup sulit sebab merupakan buku terjemah dan juga diterjemahkan oleh seorang legendaris, Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, kita akan banyak bertemu dengan alur cerita yang disuguhkan secara maju dan mundur sehingga menyulitkan untuk dipahami.

Secara garis besar, buku ini menawarkan sisi lain yang mana selain menyorot kekejaman dan tindak kesewenang-wenangan pribumi sendiri yang dalam hal ini dilakukan oleh pembesar adipati. Sisi itu seperti yang sudah disinggung ialah mengenai kepatuhan masyarakat terhadap tindak tanduk kaum pembesar. Pada era ini apabila ditarik dalam praktek kehidupan nyata maka sudah seyogianya tidak lagi diterapkan. Multatuli menyajikan deretan kalimat berkesinambungan yang tepat mengarah pada sasaran, tidak kurang maupun lebih dan dapat dibuktikan secara nyata dalam sejarah yang ada. Oleh sebab itu, walaupun pernah menuai kontroversi buku ini tetap tidak pernah surut kejayaannya.

Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang harus memiliki pegangan yang kuat. Pemerintahan dan segala yang ada dalam bentuk kekuasaan tidak pernah memegang kebenaran yang absolut, semua masih dalam keterbatasan yang secara sadar maupun tidak masih dilakukan. Oleh sebab itu, sebagai yang berpandangan luas maka ada baiknya masyarakat berpegang terhadap norma dan pranata sosial yang jelas dibentuk untuk kepentingan bersama. Tidak lantas menghiraukan kebijakan negara, namun hanya untuk patokan jika semisal kebijakan bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat banyak dan hanya untuk kepentingan perseorangan atau kelompok tertentu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!