Resensi Buku : Bukan Pasar Malam
Judul :
Bukan Pasar Malam
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
ISBN :
978-979-3820-03-3
Bukan pasar malam adalah buku fiksi
karangan dari seorang penulis legendaris, Pramoedya Ananta Toer. Ia adalah
seorang yang juga menyumbang tetralogi terbaik sepanjang sejarah yakni
tetralogi Pulau Buru yang ditulisnya dalam masa tahanannya di Pulau Buru.
Sebagian besar buku karangan yang telah ia publikasikan berorientasi pada masa
penjajahan sebagai latar belakangnya, disertai sudut pandang berbagai tokoh
yang ia bawakan. Kecerdasan pembawaan alur serta pemilihan karakter setiap
tokoh yang ia angkat mungkin saja beberapa terinspirasi dari tokoh nyata.
Beranjak dari penjabaran tersebut,
buku kali ini yang akan dibahas ialah mengenai buku roman yang latar
belakangnya ialah masih pada seputaran era revolusi. Tokoh “aku” sebagai pusat
cerita ialah seorang anak kampung yang merantau keluar kota dengan waktu yang
lama. Hingga tiba pada suatu masa, ia mendapat kabar bahwa ayahanda tercinta
tengah jatuh sakit di kampung halaman. Mendengar hal tersebut, akhirnya sang
tokoh utama memutuskan untuk pulang dengan ditemani oleh istrinya.
Di dalam perjalanan sang istri
mengungkapkan bahwa mereka tak bisa tinggal lama di kampung halaman sang suami.
Sebab, jika mereka berlaku demikian maka segala bentuk pekerjaaan akan
terhambat dan itu tentu akan mempengaruhi sisi perekonomian mereka. Dalam hati
sang suami bergumam lirih, benarkah ia gadis yang dicintainya saat pertama
dahulu namun ia tak banyak memusingkan akan hal tersebut.
Sesampainya di kampung halaman, tokoh
utama mendapati sosok ayahnya yang berjiwa revolusi idealis tengah tergolek
lunglai akibat pertarungannya dengan penyakit TBC yang dideritanya. Disini
digambarkan betapa keperwiraan seorang dalam revolusi pada ujungnya menemui
kelunakan ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari. Tak dapat dipungkiri,
keadaan ayahnya yang lemah, anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang
sudah hampir reyot dan tak layak huni, serta kecerewetan istrinya yang menuntut
untuk pulang lebih awal. Semua berkutat mesra di dalam sanubari serta pemikiran
sang tokoh utama.
Dalam ceritanya, sang ayah sangat
senang mendapati putra sulungnya berada disana dan menemani dirinya dalam
keadaan yang sudah lemah. Ia tak enak makan, selalu menunggu hari dimana
kematian akan menjemputnya, dan meminta pada anggota keluarganya agar tidak
ditemani saat malam hari. Adegan ini sungguh membuat hati teriris, sebab kelemahan
seorang anak ialah terletak pada orangtuanya. Namun, dari sisi ini sang ayah
berusaha keras agar tidak menunjukkan sisi emosionalnya yang dalam terhadap
sang anak.
Hari demi hari berlanjut, sang ayah
tiba-tiba menginginkan beberapa makanan yang lazimnya tidak seharusnya
dikonsumsi orang sakit. Namun, tak sampaai hati apabila sang anak tidak
mengabulkannya. Akhirnya semua apa yang diminta diberikan oleh sang anak. Ada
perubahan baik yang mana sang ayah mau makan dengan suapan yang lumayan banyak.
Hingga pada suatu hari ia berpamitan pada ayahnya untuk pulang. Sang ayah
menahannya untuk bertahan beberapa hari lagi sebab ia masih merindukan anaknya.
Buku ini sifatnya sangat sensitif
bagi beberapa orang yang memiliki kedekatan khusus dengan sosok ayah. Rentan
membawa pembaca dalam arus rasa emosional tinggi dan menyentuh hati. Seseorang
yang mengerti betapa buku ini sangat berharga mungkin tak akan pernah jenuh
untuk mengulang membacanya berkali-kali. Pramoedya menyajikan alur dan
sepenggal kisah yang menarik dalam balutan era revolusi, sehingga pembaca
seakan digiring juga untuk memahami segi perpolitikan yang mana melibatkan para
pejabat tinggi pascakemerdekaan yang sibuk memperkaya diri sendiri.
Secara keseluruhan sampul buku ini
sudah sangat cukup menggambarkan isi buku di dalamnya, gaya bahasa Pramoedya
yang khas disini pun tidak akan menghilangkan kesan sebagaimana yang biasa kita
ketahui lewat buku-bukunya yang terdahulu. Buku ini sangat cocok dibaca oleh
kalangan remaja hingga dewasa, sebab pesan yang disampaikan sifatnya sangat
mendalam. Sebagai penutup, ada sebuah kalimat yang tentu membuat kita tersadar
bagaimana manusia dan hidupnya di dunia ini, kalimatnya ialah :
“Dan di dunia ini, manusia bukan
berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang seperti
dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang, dan pergi. Dan yang
belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana” –
Pramoedya Ananta Toer
Komentar
Posting Komentar