Capernaum(2018) - "Wajah Dampak Kekerasan Terhadap Anak"
Capernaum, ialah film yang sempat
dibahas dalam sebuah blog pribadi milikku. Sedikit banyaknya informasi, film
ini menyabet gelar yang cukup banyak dalam rentang waktu sekitar 4 tahun
lamanya dari tahun 2018. Film ini berkisah dalam latar belakang negeri timur,
tepatnya Beirut. Apabila ditelisik lebih jauh pada kenyataannya film ini
diperankan oleh tokoh yang tidak terkenal dalam khalayak ramai sebagai seorang
figur aktris maupun aktor. Namun, esensi film yang ditawarkan membuatnya mampu
bersaing dengan deretan film terkemuka lainnya.
Ialah Zain, seorang bocah cilik yang
tak seberuntung anak di luaran sana. Ia adalah bagian dari keluarga kecil budak
yang hidup tanpa surat-surat resmi yang terdaftar dalam pemerintahan. Hidup
sederhana dalam sebuah flat kecil dengan beberapa saudaranya. Kekurangan yang
menimpa keluarganya membuat ia harus berjuang mendapatkan pundi-pundi uang
untuk menyambung kehidupannya.
Usianya yang masih sangat kecil tak
membuat dirinya merasa kesulitan diterjang badai lelah dan semacamnya yang
menggerogoti jiwa kecilnya. Ia dipaksa dewasa dalam usia sekitar 12 tahun,
mengemban tugas untuk merawat adik-adiknya, juga peduli akan kebutuhan mereka.
Sudah seperti sebagaimana dalam film
lain ataupun kita temui dalam kehidupan nyata. Kemiskinan yang menjerat
keluarganya, membuat kedua orangtuanya membesarkan ia dalam bingkai kekerasan
baik yang sifatnya verbal maupun non-verbal. Tak banyak yang bisa dilakukan
oleh bocah kecil sepertinya kecuali hanya menerima dan meratapi bagaimana porsi
keadilan Tuhan ditawarkan.
Dalam film, beberapa adegan
memperlihatkan bagaimana orangtua Zain berlaku. Sebenarnya, tiada pantas
seorang yang sudah dewasa terlebih telah memiliki buah hati bersikap labil dan bertindak
diluar batas kewajaran. Pemukulan, cacian dan makian yang bertubi, pola ajar
yang tak masuk akal, dan masih banyak lagi lainnya yang disuguhkan dalam film.
Hanya saja, dampak yang ditorehkan
pada film Capernaum ini pada titik fokus Zain ialah lahirnya keberanian untuk
pergi dari rumah. Zain berani mengambil resiko besar dan hidup dalam pergaulan
yang salah. Sudah barang tentu ia tak akan berpikir panjang mengenai dampak
yang akan menimpanya di kemudian hari sehingga harus menjebloskan dirinya dalam
penjara anak.
Dalam kasus yang sama, kekerasan pada
anak yang sifatnya verbal dan non-verbal tidak dapat dibenarkan. Sekali pun
untuk mendidik, namun tetap saja itu tidak bisa dianjurkan. Anak dalam masa
perkembangannya sangat rentan dengan ingatan yang cepat melekat dan memberikan
kesan dalam dirinya. Entah kesan baik mau pun buruk, keduanya beradu dan saling
menggeser kedudukan apabila salah satunya mendominan. Sangat disayangkan
apabila yang buruk dominan, sebab itu akan menimbulkan luka yang membawa inner child bagi sosok anak dikemudian
hari.
Dalam lingkup nyata di kehidupan,
sebagian kecil anak akan mengalami kesulitan dalam interaksinya dengan orang
lain. Anak yang bertumbuh dengan inner
child dalam dirinya cenderung akan menemui kendala seperti halnya kurang
bisa berkomunikasi dengan baik, takut dalam menyampaikan pendapat, mudah overthinking, mudah berkecil hati, dan
lain sejenisnya.
Dan fakta lain tidak bisa dipungkiri
apabila nantinya di masa depan kejadian yang sama akan terulang kembali, bagai
sebuah potret yang mana terealisasikan dalam ranah zaman yang berbeda. Ini
adalah akibat paling fatal yang pernah ada. Semoga saja beberapa anak yang
terdeteksi akan mendapat perawatan jiwa terbaik oleh seorang psikiater. Dan
lain sisanya yang tak terdeteksi tak sampai memiliki pemikiran semacam “balas
dendam” dalam kehidupan lanjutnya.
Di sisi lain, tak jarang akan timbul
dalam pikiran anak untuk segera pergi menjauh dari kedua orantua yang
menyakitinya. Ia akan mencarai banyak cara agar terbebas dari belenggu yang
menyakitinya. Itulah yang menjadi awal dimana banyak anak kehilangan arah
tujuan seolah tak memiliki gairah hidup. Keadaan seperti inilah yang nantinya
akan membuat frustasi dan kehilangan akal. Tak jarang sekelebat perasaan hampa
dan beragam pertanyaan mengenai kehidupan dan keadilan pasti dipertanyakan.
Dua diantaranya yang disebutkan
mungkin saja masih ada yang lainnya. Dampak dari kekerasan verbal dan
non-verbal memberikan suatu hal berbeda tergantung dengan bagaimana
menyikapinya. Ada juga banyak kasus dimana anak bisa sampai tega membunuh
orangtuanya, ini adalah gambaran nyata bahwasannya pola asuh yang tidak sesuai
dapat menimbulkan dampak tidak terduga di kemudian hari.
Film ini membuat penonton terenyuh dengan
perkataan Zain di akhir film. Ia datang dengan tuntutan kepada kedua
orangtuanya agar tidak memiliki anak lagi. Ia beralasan bahwa anak tersebut tak
akan berbeda jauh dengannya yang harus menemui lika-liku kehidupan yang sulit
dan dibebankan oleh kedua orangtuanya.
Capernaum diangkat ke ranah publik
untuk menyadarkan setiap orang akan pentingnya ilmu parenting dalam membesarkan anak. Film ini turut andil dalam
membuka mata dunia akan kejamnya sisi lain dari klaster masyarakat menegah
kebawah yang tak jauh kaitannya dengan konflik baik yang datangnya dari
internal maupun eksternal.
“Kedewasaan
nyatanya tak diukur dengan berkurangnya usia yang semakin beranjak, namun
diukur oleh kematangan daya berpikir seorang yang terwujud dalam tingkah
lakunya. Zain adalah potret kecil yang mewakili berbagai kasus di belahan bumi
lainnya juga. Maka setidaknya, dari diri sendiri mampu untuk meresapi amanat
yang ingin disampaikan oleh penulis dan sutradara film asal lebanon ini. Be a
wise people,”
Komentar
Posting Komentar