What's Wrong With Nadira?
Siang
itu aku dan Nadira pergi untuk mengikuti tes wawancara dalam sebuah komunitas public speaking dalam SMA kita.
Sebenarnya ia tak benar – benar berkeinginan untuk bergabung, hanya saja dia
tak mau lepas dariku. Itulah sebabnya ia mengikuti kegiatan apapun yang ku
ikuti.
“Kamu
yakin Re? disana kita bakalan dapet ilmu yang berguna?”
“Oh
hei, pertanyaan konyol macam apa itu?” mataku memicing memandang raut mukanya
yang mulai mengucurkan keringat dingin di pelipis kanannya.
“Mereka
gak akan marahin kita kan? Atau memerintah kita semaunya?” sorot matanya
menyiratkan ketakutan yang berlebihan.
“Kalo
itu beneran terjadi, aku yang bakalan gontokin mereka. It`s okay, percaya kan sama Rere?” ku rangkul pundaknya untuk
meyakinkan.
Singkatnya
kami melalui tes wawancara dengan waktu yang berbeda. Aku yang terlebih dahulu,
sedang Nadira urutan ketiga setelahku. Maka aku menunggu giliran Nadira dengan
sabar.
Dua
hingga tiga puluh menit berlalu Nadira pun mendapat bagian dalam tes
wawancaranya. Ia terlihat gugup dan berkali meremas kedua belah telapak
tanganku, dingin katanya.
Aku
memperhatikan geraknya yang gelisah dan selalu menunduk atau menjawab
sekenanya. Hingga tiba pada sebuah pertanyaan yang entah apa itu sehingga
membuat Nadira menangis. Aku yang terkejut pun mencoba untuk menenangkannya,
namun salah satu kakak kelasku melarang. Jadilah aku yang diam memperhatikannya
dari kejauhan dengan perasaan cemas.
Dering
ponsel Nadira memecah kegelisahanku, dengan segera aku membuka notifikasi yang
berasal dari bundanya. Tak ada yang aneh, bundanya hanya menyuruh Nadira untuk
segera pulang. Kemudian, entah karena apa aku membuka catatan mini dalam
ponselnya.
Betapa
terkejutnya aku membaca satu persatu isi dari catatan yang Nadira buat. Oh Shit!!! Bertahun kau menjadi temannya
dan kau tidak pernah tahu apa yang dialami oleh Nadira. Sahabat macam apa yang
tidak mengerti keresahan dan kesedihan sahabatnya sendiri, umpatku dalam hati.
Semua
berisikan tulisan tertekan, ketidakbahagiaan, topeng, kesedihan mendalam,
penyesalan, umpatan untuk dirinya sendiri, serta permintaan maaf untuk orang
yang dirasa telah direpotkan olehnya, dan juga kematian.
“Halo Nadira, kau baik kan? Apa cacian membunuhmu setiap
hari? Bagaimana dengan bekas lebam di beberapa tubuhmu apa sudah menghilang?
Apa yang kau lakukan lagi hari ini? Apa kau melakukan kesalahan terus –
menerus? Apa kau masih seonggok daging yang seperti sampah? Apa kau masih parasit
dan terus menyusahkan bunda? Kenapa tidak mati saja Nadira? Tapi kalau kau
mati, papa dan Rere bagaimana? Siapa yang akan menyayangi papa? Siapa yang akan
menemani Rere membuat tugas harian?”
-Nadira,
12 April 2019-
Mati –
matian aku menahan tangisku yang sudah menyesakkan dada. Aku mengontrol raut
mukaku agar terlihat biasa saja. Selama ini aku tak pernah membuka ponsel
Nadira tanpa izin darinya. Hari ini aku melakukannya, maafkan aku Nadira.
Nadira
menghampiriku dengan senyuman terbaiknya dan mengacungkan kedua jempol yang
mengisyaratkan bahwa semuanya baik – baik saja. Aku melayangkan senyum yang
serupa dan menjabat tangan dinginnya yang ku tahu ia sedang tidak dalam keadaan
yang baik.
“Aku
pengen makan es cendol Pak Ahmed, mau traktir aku kan Re? aku udah nyelesaiin
wawancaranya loh. Walaupun tadi aku nangis, tapi aku fine kok. Kakaknya aja yang kepo pengen tahu masa kecilku. Kamu percaya
kan? Aku nangis karena ingat pengalaman terburukku itu pas jatuh dari sepeda?”
ia meringis merasa aneh dengan kalimat yang ia lontarkan sendiri. I know all about you today, kenapa kau
terus menyembunyikannya dariku Nadira, Nadira Antariksa Syahrani. Gumamku dalam
hati.
“Kita
makan – makan yang banyak yah Nad, aku traktir penuh kamu buat hari ini”
Kita
pun pergi ke kantin sekolah dan memilih tempat duduk ternyaman. Hari itu
sekolah mulai sepi, karena hari Jum`at maka pembelajaran pun memakan waktu yang
tak terlalu lama. Hanya ada aku dan Nadira menghiasi meja kantin sambil
menunggu pesanan. Lama bungkam, akupun membuka percakapan.
“Are you really happy or it`s just fake face?”
tanyaku selembut mungkin.
“Are you kidding me? Kamu bisa lihat
sendiri kan Re? Iam fine and happy too”.
Ia melihat sembarang arah, tidak pada kedua bola mataku.
“Apa
aku bukan seseorang yang bikin kamu percaya? Aku selalu ada buat kamu, tapi
kamu gak pernah anggap aku ada. Aku lihat tawa kamu tapi enggak sama sedihmu,
menurut kamu aku ini apa? Se nggak penting itu yah aku Nad?”
Ia meremas
ujung rok sekolah yang ia kenakan dan menggigit bibir bawahnya. Air mata pun
menggenang di ujung pelupuk mata hazelnya. Hari itu ia menangis sejadi –
jadinya dan mengatakan segala apa yang ia alami. Kelak aku tahu dari mamaku
bahwa apa yang dialami oleh Nadira ialah yang disebut dengan Inner Child.
Nadira
tak pernah benar – benar sembuh. Ia menjauhi luka dalam Nadira kecil, dan ia
membawa luka itu dalam diri Nadiraku yang sekarang. Nadira yang kini selalu
banyak merasa cemas berlebihan, selalu takut akan apapun, tidak mau banyak
bicara dengan orang lain, dan tidak suka keramaian.
Mamaku
membantu Nadira dalam menghadapi permasalahan di masa lalunya. Seorang pskiater
seperti mama tentu lebih tahu daripadaku. Untuk itu mama juga menyarankan agar
aku mau selalu mendengarkan keluh kesah Nadira, menjaga perasaan hatinya, dan
membantu Nadira merangkul dan memaafkan masa lalunya.
Aku,
Nadira. Kita adalah contoh kecil dalam segelintir masyarakat yang mengaku dekat
namun tidak dekat dalam konteks yang sebenarnya. Padahal keterbukaan adalah
kunci dalam awetnya segala bentuk hubungan.
Mulai
saat ini, aku membantu Nadira untuk bangkit dan memberikannya semangat dengan mengatakan
bahwa Nadira tidak melakukan kesalahan yang fatal. Ia hanya salah sedikit, dan
perlu untuk diarahkan saja. Bahwa Nadira adalah anak yang hebat dan mampu
menjalani semuanya dengan tabah.
Harapku,
semoga tak ada Nadira lain yang seperti ini. Dan semoga pula tak ada orang
seperti aku yang tak banyak mengerti
mengenai sahabat sendiri.
Komentar
Posting Komentar