P4 Kuncir Kudaku yang Malang
Suatu
pagi menjelang siang hari, lelah telah menggerayangi tubuhku sejak pertama kali
duduk bersandar pada bangku bis. Ini adalah bis keduaku setelah turun di
Bungurasih, yang ke selanjutnya menuju Pelabuhan Tanjung Perak untuk menyebrang
hingga sampai pada pulau Madura.
Sebelum
itu, mataku sibuk merotasikan diri mencari bangku kosong di dekat kemudi depan.
Yah, aku harapkan bisa duduk di bangku penumpang paling depan hanya agar tidak
mengantuk saja. Alasan yang kurang bisa diterima begitu saja, tapi yah
begitulah setidaknya menurutku.
Bis
berjalan sesaat setelah aku mendudukkan diri dan bersandar barang sejenak, oh
ayolah badanku serasa remuk dan yang paling mengejutkan ternyata seseorang
datang memintaku menggeser duduk, bodohnya aku tidak menyadari kalau memang ada
seorang penumpang disebelahku. Aku tidak menyadari ada satu tas punggung
disebelahku, ku pikir itu milik penumpang didepan. Akhirnya aku pun membagi
kursi dengannya.
Sejenak
aku melihat pemandangan kanan dan kiri, hingga kembali terfokus pada tempat
kemudi di depan. Seorang anak kecil cantik berdiri berpegangan pada kursi
kemudi itu. Pikirku ia merupakan anak dari penumpang di depanku, tapi sejurus
kemudian pemikiranku terpatahkan saat anak kecil itu mulai mengeluarkan amplop
mini dengan tulisan di belakangnya. Disinilah aku mulai mengerti bahwa ia
adalah seorang penadah cilik, atau mungkin lebih halusnya pengamen atau apalah
itu sejenisnya.
Pandanganku
teralih padanya secara utuh. Mengamati dari tubuhnya yang berdiri sedikit
bungkuk dengan menahan goncangan bis, kemudian tangan mungilnya yang memegang
semacam alat musik ala kadarnya (Kayu yang dipakukan tutup botol berbahan seng),
mata yang terlihat sayu dan menahan kantuk. Astaga, berapa lama ia seperti itu
seharian ini? Dimana orangtua yang seharusnya menjaganya? Dan yah, ikatan
rambut kuncir kudanya yang begitu menggemaskan.
Aku
sering melihat yang seperti ini di dalam bis, tapi tak pernah benar menjumpai
anak gadis cilik sendirian di dalam bis dengan menanggung segala bentuk resiko
yang mungkin saja dialaminya baik yang kecil hingga besar.
Kemudian
ia mulai bernyanyi dengan suara kecil nan sumbangnya kurasa, ia tak benar
bernyanyi mungkin hanya sebagai syarat saja sesaat setelah membagikan amplop
itu ke penumpang.
Di
usia sekecil itu dulu aku masih takut melepas tangan orangtuaku, masih berjalan
beriringan atau dibelakang mereka. Tak pernah pergi jauh sendirian apalagi
dalam waktu yang lama. Masih bermain dengan teman sebaya, masih suka membeli
jajanan favorit, dan masih suka menikmati senda gurau dengan keluarga, pun
belajar.
Aku
terhenyak saat ternyata anak kecil itu telah menyelesaikan lagunya dan
menyodorkan tangan mungilnya kepada penumpang demi penumpang yang dilaluinya.
Aku menyodorkan amplop yang telah kuisi itu dengan menyertakan pertanyaan.
“kamu umur berapa?”
“delapan
tahun” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari bawah, entah apa yang lebih
menarik dari pada ujaranku.
Ia
berlalu pergi kedepan lagi untuk menagih amplopnya, seraya berbisik kukatakan
agar salamku disampaikan kepada orangtuanya. Ia bergeming dengan menahan kantuk
dan lelah yang memeluk tubuhnya. Banyak penumpang menaruh iba padanya, hingga
salah seorang bapak – bapak memanggil anak itu untuk duduk disebelahnya.
Menurut, anak itu duduk dan sekilas memejamkan mata, hingga dengan suara lantang
kernet bersorak keras “Pasar Loakkkk!!!” katanya. Akhirnya anak kecil itu
terbangun dan berdiri untuk menunggu gilirannya turun. Yah, dia turun disana
meninggalkan aku dengan sejuta pertanyaan yang membumbung dengan bebasnya di
benak. Aku mengedarkan pandang barangkali ia sudah ditunggu orangtuanya, tapi
sayang tiada aku temui itu.
Komentar
Posting Komentar