Monolog Qalbu : "Terkungkung Dogma atau Melepaskan Diri dan Membuka Pikiran?"
Sejak
kecil kita hidup dalam lingkup keluarga yang memeluk kepercayaan masing –
masing, terlepas dari keluarga yang berkepercayaan berupa turunan atau memang
jalan dari kehendak hati sendiri.
Sejak
kita dilahirkan ke dunia tak pernalah kita bisa melakukan segala sesuatu
sendiri. Kita membutuhkan tangan yang terulur lembut memenuhi kebutuhan dan
merawat kita sepenuh hati. Atas dasar itu kita tidak dapat memilih apapun yang
kita kehendaki, melainkan berdasar kepada apa yang dikehendaki oleh orang – orang
yang merawat kita.
Maka
tanpa sadar, terkadang orangtua mendikte kita bahkan hingga usia yang bisa
dikatakan mampu mempergunakan akal dan pikiran sendiri untuk menentukan yang
terbaik bagi jalan yang kita pilih. Tidak masalah, setiap orangtua memang memiliki
kekhawatiran yang berlebih.
Tapi
tahukah? Suatu apa yang berupa pendapat apabila telah diterima dalam ranah
khalayak ramai kemudian menjadi sebuah kepercayaan akan berdampak kepada
pemeluknya itu sendiri. Maka yang ada hanyalah sebuah dogma yanng memintakan
kebenaran bagi yang berbahagia menyambutnya dan kesedihan bagi mereka yang
terpaksa memeluknya.
Hanya
sedikit orangtua yang mau memahami bagaimana sang anak berkeinginan untuk
mencari tahu akan kebenaran kepercayaan yang dianutnya untuk kemudian melakukan
perbandingan dengan kepercayaan lainnya. Pada akhirnya sang anak tetaplah akan
mengikuti apa yang menjadi pembenaran orangtua dan menutup rapat pintu
keterbukaan pikiran.
Orangtua
mendesak agar anak mengikuti acara keagamaan yang berfokus pada halal dan
haram. Kajian yang berisikan iming – iming berupa surga yang megah, mewah dan
dipenuhi oleh sesuatu yang haram di dunia namun menjadi halal di surga. Kepada
ajaran yang memaksa kita secara tidak langsung berlaku pamrih. Kenapa bisa?
Dalam
contoh sederhananya misal pada sebuah kajian, seorang ustadz mengatakan bahwa
membaca surat ini atau itu kelak kita akan mendapat apa atau dibangunkan sesuatu
yang entah apa di surga (terlepas dari ini terdapat dalam beberapa hadits sahih
dan al-quan yang mebahas detail keterangannya). Beberapa orang akan melakukan
segala amal saleh itu kemudian dengan berharap kepada suatu janji tersebut.
Maka ini dapat diartikan sebagai pengamalan kebaikan dengan rasa pamrih. Tentu
ini sudah tidak bisa dibenarkan.
Dengan
begitu, mari sejenak menyimak syair milik ibu para sufi yakni Rabiah Al –
Adawiyah, yang isinya ialah :
Ya Tuhan, kalau aku menyembah
Engkau
Hanya karena takut kepada
neraka-Mu,
Masukkanlah saja aku ke
neraka,
Kalau aku menyembah Engkau
Karena ingin surga-Mu,
Bakar saja surga itu untukku,
Tapi kalau aku menyembah
Karena ridha-Mu maka terimalah
aku.
Dengan
hanya membaca syair itu tidakkah merasa tertampar dengan apa yang telah kita
kerjakan selama ini? Memanglah benar mengamalkan suatu perbuatan yang didasarkan
kepada Al – qur`an, namun bukankah akan lebih indah dan menentramkan apabila
kita melakukan ibadah dan amalan berdasar kepada rasa cinta sebagaimana yang
dilakukan oleh Rabiah?
Tiada
mengandung sesuatu harap akan imbalan, tiada pula melakukan berdasarkan
tekanan, namun memang murni dari ketulusan hati yang hanya mengharap ridha-Nya.
Dengan begitu harusnya kita mampu mengolah dengan baik sejarah yang ada,
memahaminya dan menyelaraskannya dengan makna dari kehidupan itu sendiri.
Karena
sesuatu kemajuan dapat kita peroleh dari sebuah dobrakan keterbatasan pemikiran
yang terkungkung dalam dogma dan kecenderungan tidak mau berkembang sebab
terlalu mempercayai sebuah pendapat itu tadi. Sehingga menolak fakta lain atau
bahkan sejarah lama yang masih relevan pada masa sekarang ini (maka akan
berdampak pada kemunduran).
Pilihan
tetap ada di tangan kita. Memilih terkungkung dalam dogma dan mengikuti segala
ajaran dengan pengamalan yang pamrih. Atau dengan membuka jendela pemikiran
agar lebih luwes dan memperdalam makna dari terciptanya manusia dan fungsi
ibadahnya sendiri terhadap Allah itu untuk apa.
Komentar
Posting Komentar