Mitoskah? "Kabotan Jeneng" (Berat Nama)

Pernah dengar anak sering sakit – sakitan sedari kecil disebabkan orangtua yang salah memberikan nama? Masyarakat Jawa di daerah Jawa Timur khususnya Probolinggo sering menyebutnya dengan “Kabotan Jeneng” atau dalam bahasa Indonesianya kelak kita tahu ialah keberatan nama.


Seringkali aku pun menemui hal semacam ini di sekitaran rumahku. Tak jarang beberapa dari orangtua mengikuti apa yang dikatakan oleh sesepuh, yakni mengganti nama anak yang sedang sakit – sakitan itu.


Dalam benakku, adakah keterkaitan diantaranya hanya sebuah nama dengan urusan kesehatan? Tentunya hal ini bertentangan dengan pendapat ilmu kedokteran yang tidak dapat membuktikannya secara ilmiah. Mungkin aku menyetujui bahwa pemberian nama ialah do`a, tapi tidak untuk kasus yang satu ini karena berkecenderungan dibuat asal - asalan.


Aku memang mendengar, malah semakin merasa muak dengan apa yang selalu kudengar. Sayang sekali, pendapat tetua tentunya akan lebih diterima dibanding dengan pendapat kawula muda yang notabenenya di cap sebagai anak bau kencur atau anak kemarin sore.


Tidak perlu merembet jauh. Kakak perempuanku dahulu sejak kecil sering mengalami demam tinggi dan selalu sakit – sakitan. Berdasarkan itu kemudian mbahkungku memberi saran agar namanya diganti saja sebab perkara “Kabotan Jeneng” tersebut.


Kemudian, nama yang awalnya Rully diganti dengan nama Jawa yang kuketahui sebagai Wilujeng. Memiliki artian yakni selamat datang. Entah apa motivasi orang sesepuh dulu menganjurkan untuk memberikan nama tersebut. Walau pada akhirnya, nama Rully tetap digunakan karena sudah terbiasa dengan panggilan itu sebelumnya.


Toh, nyatanya tak ada pengaruh yang cukup besar atas perubahan nama yang sementara itu. Kalau sudah waktunya sakit yah sakit, tidak karena diubahnya sebuah nama maka ia akan sembuh.


Lagi dan lagi, semua ini erat kaitannya dengan mitos leluhur yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebagaimana kita tahu kalau anak perawan tidak boleh duduk di depan pintu masuk karena bisa jadi ia tidak akan mendapat jodoh. Namun pada kenyataannya itu hanya sebuah alibi agar tak menghalangi jalan masuk saja dan orang bisa lewat dengan leluasa.


Mungkin orang Jawa tahu benar apa yang dilarang dan tidak sedap dipandang ataupun tidak sesuai dengan norma yang ada, kekurangannya hanya saja terletak pada alasan yang mereka tuturkan seolah sesuatu menjadi keramat dan tak berlandaskan kepada logika sebagaimana orang modern berpikir di zaman kemajuan teknologi ini.


Kembali pada topik, mengutip dari laman terbaru pada bulan Juni 2020 yakni kumparan dikatakan bahwa “Kabotan Jeneng” merupakan keyakinan tentang nilai sebuah nama yang erat kaitannya dengan nilai ontologi, yang dapat diperhatikan melalui kesesuaian antara sikap  anak dan makna dari nama tersebut. Dikatakan pula seseorang itu tidak mampu untuk memikul beban nama yang diberikan sehingga menimbulkan sakit dan berbagai kenaasan lainnya yang dikaitkan.


Untuk itu, tak jarang orang yang dianggap dekat dengan Tuhan dimintai pertolongan untuk memilihkan sebuah nama yang cocok bagi sang anak dan tidak berpotensi membawa nasib buruk, kenaasan, penyakit, dan lain sebagainya. Sehingga dengan begitu, nama yang dipilih menjadi berkah untuk hidup si anak di masa depan.


Sedangkan menurut pandangan Islam. Hal ini diperbolehkan dan sah saja dilakukan (Penggantian nama karena dianggap tidak sesuai dengan anak). Apalagi, dalam Islam sangat dianjurkan untuk mengganti nama yang melanggar syariat. Ketentuannya ialah yang mengandung makna pujian untuk diri sendiri, dan makna namanya yang buruk.


Namun yang patut digaris bawahi ialah pengubahan nama untuk pengobatan sakit tidak diperbolehkan sebab ini berakar dari keyakinan yang menyimpang dan tidak ada dalam syari`at.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!