Miracles in Goodness
Saat
kepulanganku setelah hari pendidikan dan pelatihan yang memakan waktu banyak
itu, aku membawa senyuman hangat yang terbit dalam diriku. Walau saat sampai di
pelabuhan, kapal yang akan aku tumpangi telah berlayar dan masih terlihat baru
berangkat dari dermaga. Aku menertawai diri sendiri dan Viola yang terlihat
kesal karena kebodohan kami pagi itu.
Yah,
aku bersama Viola yang akan menyeberang menuju Pelabuhan Tanjung Perak dengan
tujuan kota yang berbeda pada akhirnya. Aku menikmati udara sejuk pagi itu yang
membawaku mengingat kembali peristiwa pendidikan dan pelatihan yang sudah mulai
kurasai kebiasaannya.
Rasa
sedih menggelayuti hatiku, rasanya baru kemarin aku bisa berkumpul secara offline dengan teman satu angkatanku
yang berbeda prodi. Terlepas dari semenyebalkan apapun mereka namun bagiku
tetap saja perpisahan adalah hal buruk yang paling tidak kusuka kehadirannya.
Singkatnya,
aku dan Viola mulai masuk ke dalam kapal dan memilih tempat duduk di tengah
yang paling nyaman dan dekat dengan tangga yang menurun supaya nantinya tidak
perlu kesulitan saat akan turun.
Kami
duduk dan mulai menempatkan diri dalam posisi ternyaman. Sehingga kemudian
fokusku beralih pada seorang kakek yang berjalan lamban dan sedikit membungkuk.
Ia terduduk di depan Viola dengan membawa kantung keresek transparan yang
kulihat isinya ialah sapu tangan, rokok, dan beberapa barang lain yang tidak
dapat kuterka.
Sesaat
setelah duduk ia bertanya pada seseorang yang berjualan mengenai permen yang
dapat ia beli, sang penjual memberika seplastik permen dan menambahkan satu
lagi secara gratis. Kakek itu menerimanya dan mengucapkan terimakasih.
Namun,
beberapa detik kemudian ia menoleh kebelakang dan memberikannya kepadaku dan
Viola. Karena merasa tak nyaman, aku dan Violaa menolak. Tapi tetap saja kakek
itu memaksa agar aku mau mengambil permen yang diberikannya.
“Nak,
tidak boleh menolak rezeki yang diberikan oleh orang lain” begitu ujarnya dalam
bahasa Madura. Tentu Viola tidak mengerti, namun aku tahu apa yang disampaikan
kakek itu karena aku berasal dari Kota Probolinggo yang notabenenya menggunakan
bahasa Madura dan Jawa sekaligus.
Aku
tersenyum ramah menanggapi dan mengucapkan terimakasih. Ia mengangguk dan
kembali menghadapkan diri ke depan. Kemudian aku mengambil roti yang baru
kubeli di toko saat sebelum berangkat. Aku mengambil sepotong dan memakannya.
Aku
masih memperhatikan kakek itu dengan seksama, dengan sebuah inisiatif aku
memberikan sepotong rotiku yang baru untuknya. Ia berterimakasih dan
memakannya. Kemudian ia bertanya dimanakah tempat agar ia bisa merokok, lalu
kutunjukkan tempatnya.
Setelah
turun dari kapal, aku dan Viola berpisah. Aku mencari bis dan Viola yang mencari
angkutan umum untuk menuju stasiun. Kembali rasa kehilangan menghantuiku, kami
berjabat tangan dan melambai satu sama lain hingga kemudian saling menghilang
dalam tatapan.
Di
dalam bis aku bertemu dengan kakek itu lagi. Ia turun di salah satu
pemberhentian tepatnya di Pasar Loak. Saat akan membayar nyatanya salah satu
penumpang telah membayarkan ongkos bagi kakek tersebut.
Melihat
itu aku menarik senyum simpul. Betapa kebaikan akan selalu menyertai orang –
orang yang memiliki hati baik dan ketulusan tanpa pamrih di dalamnya. Aku belajar
dari beliau, bahwa berbuat baik walau dalam bentuk sekecil apapun tetap perlu
dilakukan.
Tidak
peduli kapan dan dimanapun kita berada, berbuat baik tak akan pernah merugikan
kita barang sedetikpun. Justru atas kebaikan itu kita tidak pernah tahu kapan
Tuhan akan membalasnya dengan hal yang lebih baik lagi dari apa yang telah kita
berikan atau korbankan.
Komentar
Posting Komentar