Masih Manusia, Maka Wajar Punya Resah
Aku
memanglah terbatas dalam segi kemampuan bernalar. Walaupun sejak jenjang SMA
telah diperkenalkan dengan yang namanya berpikir dengan nalar, namun tetap saja
tak membuatku kemudian mampu memahaminya melebihi dari definisi yang ada.
Segala
sesuatu tak akan terjadi tanpa sebab, maka aku sekarang ini yang tengah duduk
manis menatap layar pc mencoba untuk mengingat dengan baik. Ah yah, barangkali
sebab terbiasanya aku menerima sesuatu yang diberikan tanpa bantahan. Seperti
halnya tidak pernah memprotes apa yang disampaikan guru, karena menganggap guru
itu sudah pintar dan tak pernah salah.
Pikiranku
tak pernah benar – benar diasah sebagaimana yang selalu dilakukan dalam
organisasi yang baru kusambangi ini. Kalau aku mengatakan ini sebuah kesulitan,
maka aku tak pernah bohong atasnya.
Setiap
kali aku berpikir bahwa aku mampu, sekali waktu sesuatu seakan membuatku merasa
bahwa aku tak akan mampu. Metode belajar dengan mengandalkan kebebasan berpikir
dan usaha dalam mencari jawaban sendiri, selain meresahkanku nyatanya juga
menguatkan daya berpikirku. Untuk itu aku tak akan pernah melepas metode
semacam ini walau kenyataannya aku selalu merasa bingung sendiri.
Selama
teman – teman yang lain juga merasakan hal yang sama, maka tak perlulah aku merasa
paling tidak bisa berkembang. Melihat mereka antusias dalam mempelajari hal
baru membuatku turut berlaku demikian. Ternyata kesulitan kami sama, terletak
pada cara bernalar.
Sejauh
ini belumlah lagi aku mengerti bagaimana mengatasi sesuatu yang lahir dalam
buah pikiran secara tuntas. Boleh jadi tulisan dan buah pikiran itu bagus,
namun semuanya akan kacau seketika saat bertubi pertanyaan hadir dan membuatku
seolah terjebak dengan apa yang kutulis sendiri.
Oke,
masih normal. Anggaplah ini seperti belajar dalam kurun waktu yang lama. Toh
belajar tiada pernah ada habisnya selagi ruh masih bersanding dengan jasad
dalam satu kesatuan. Apa yang sulit dari bernalar itu sendiri? Tidak ada. Yah,
yang menjadikannya sulit ialah berpikir radikal dengan menuntaskannya dalam
sekali waktu. Pun termasuk analisis sosial yang menyangkut data tentunya yang
menjadikan pikiran bernalar itu kuat secara objektif.
Jujur
aku sangat merasa kesulitan disini. Aku setuju semua orang memiliki caranya
sendiri dalam belajar dan lamanya kurun waktu dalam memahami. Yang bisa
kulakukan sekarang ialah berpikir dan berpikir. Bagaimana caranya aku bisa
menuntaskan sebuah pemikiranku akan satu hal pokok yang menjadi masalah.
Sesuatu
yang seakan menjadi sumber ketidaktenanganku yang lainnya juga ialah sebuah
kalimat “Harus adil sejak dalam pikiran”, kalimat itu sederhana namun maknanya
saja yang terlalu dalam. Aku menerjemahkannya sebagai cara dalam mengamati
segala aspek sekalipun dalam dua sisi yang berseberangan.
Mungkin
tidak salah, hanya saja pengertian semacam itu kurang untuk ukuran kalimat
“Harus adil sejak dalam pikiran” itu. Kemudian adil yang bagaimanakah yang
termasuk di dalamnya?. Masih menjadi masalah hingga detik ini yang belum mampu
kumengerti maksud dan letak pengertian sempurnanya.
Kemudian
aku menanyakan pada salah satu kakak tingkat mengenai ini, maka ia mengatakan
bahwa kalimat itu bersumber kepada buku bumi manusia karya Pramoedya Ananta
Toer. Entah kalimat itu diucapkan oleh Nyai Ontosoroh atau tokoh lain dalam
cerita.
Sebab
sudah kutahu akan itu, akan kuambil waktu senggangku untuk khusus mengingatnya
kembali dengan membaca hasil resensi bukuku yang lalu dan referensi lain dari
peramban. Aku berharap dapat menemukan jawabannya sehingga bisa terbebas dari keresahan
yang masih bertandang.
Komentar
Posting Komentar