Resensi Buku : Gadis Pantai
Resensi
Buku
Judul : Gadis Pantai
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra Jakarta
Pramoedya
dalam novelnya yang berjudul Gadis Pantai ini mencoba untuk menyajikan
kehidupan kampung nelayan dengan mengangkat tokoh utamanya yang disesuaikan
dengan judulnya. Diketahui, Pramoedya terispirasi dari pernikahan dini neneknya
di masa lampau.
Gambaran
awal kebahagiaan menyapa pembaca di awal lembar, tak berlangsung lama kemudian
penggambaran cerita pantai itu beringsut sehingga tergantikan dengan situasi
yang menghantarkan sang gadis pantai untuk menjajaki masa peralihan dimana sang
ayah ternyata telah melakukan kesepakatan atas pernikahan dengan kaum priyayi
yang disini disebutnya sebagai Bendoro.
Tak
sampai disana saja, segala bentuk ketidaktahuan si gadis pantai yang masih
menginjak usia 14 tahun ini harus mengantarkannya untuk menanggung beban berat
yang sudah terlihat bayangnya di pelupuk mata. Mulai dari ia yang harus
mengenakan kain bagus, perhiasan dan berias maka inilah titik awal ia menemui
kesulitannya.
Dengan
sebuah dokar yang dipesan kadipaten, gadis pantai kelahiran bumi Jawa Tengah
ini sampailah pada gedung kebesaran yang belum pernah dilihatnya. Tak ada yang
menyambut, pun pernikahan yang selayaknya bersanding dengan sang pengantin
hanya diwakilkan oleh keris. Hal ini membuat pembaca hanya bisa menggeleng
kecil, betapa rendahnya kehormatan (atau lebih tak pantas dikatakan demikian)
yang Pramoedya gambarkan sebagai bentuk kritik sosial yang ia layangkan dan
berorientasi pada kebudayaan Patriarki serta tak terlepas dari penggambaran
keagungan pemerintahan dengan Feodalisme Jawanya yang saat itu begitu mahsyur
dan bertumbuh subur.
Kesulitan
demi kesulitan mulai dihadapi sang gadis pantai. Namun, patutlah ia bersyukur
karena ada seorang abdi yang dipanggil sebagai bujang begitu setia dan
mendampinginya selayaknya istri – istri terdahulu sang pembesar (Bendoro).
Sebenarnya si bujang yang diketahui sebagai wanita tua yang mendekati usia
jompo ini mengetahui banyak rahasia Bendoronya yang suka berganti istri setelah
sang istri melahirkan (mungkin ini lebih pantas dikatakan sebagai perbuatan
menggundik, mengingat latar yang diberikan pun di era kolonialisme). Si bujang
ini menaruh simpati dan terus saja memberikan dongeng dan petuah yang bisa
mengantaran pemikiran gadis pantai agar bisa lebih dewasa menghadapi situasi
yang menimpanya baik hari itu dan seterusnya.
Satu
hal yang sangat menyayat hati pembaca ialah penjabaran dimana Pramoedya
mengatakan dalam sebuah paragraf bahwasannya seorang priyayi masih dikatakan
sebagai perjaka apabila belum menikahi kaum yang sederajat. Sedangkan sesiapa pun
wanita yang dinikahinya dan berasal dari kaum kebanyakan maka ia hanya dianggap
sebagai istri percobaan.
Hal
tersebut tentu memantik kemarahan yang menggebu, terutama bagi kaum milenial
yang membacanya di era serba modern ini, khususnya perempuan sendiri. Maka
daripadanya patutlah kita untuk bersyukur karena tak pernah melewati masa kelam
seperti pada era lampau tersebut.
Selain
itu, Pramoedya menyajikan kehidupan kampung nelayan dengan sangat epik dan
berkesan. Dengan kalimat yang tersampaikan dari nenek moyang nelayan, membuat
masyarakat kampung nelayan menjadi manusia – manusia yang memiliki keteguhan
dan kepercayaan yang tinggi terhadap laut dan kekayaannya. Pun sisi lain yang
diberikan ialah kekurangannya orang yang berpendidikan karena secara turun –
temurun keluarga nelayan akan tetap melahirkan generasinya sebagai seorang
nelayan pula, juga masyarakatnya yang saat itu seperti tidak beragama karena
terlalu sibuk dengan aktivitas melautnya.
Novel
ini begitu banyak menggambarkan pesan tersirat di dalamnya. Tak terkecuali
mengenai identitas kaum priyayi yang identik dengan keharusan berintelektual,
memiliki pengaruh sosial dan selalu bisa mengendalikannya, serta mempunyai
kharisma dalam tingkah lakunya yang seolah menggambarkan ketinggian ilmu
spiritualnya.
Tak
ayal jika saja masyarakat menjadi kecil secara tidak langsung karena terbunuh
dengan kekuatan minoritasnya yang begitu menjadikan pembeda diantara masyarakat
kebanyakan.
Namun
uniknya disini Pramoedya mencoba mengulik tuntas perilaku kebanyakan seorang
priyayi yang menyimpang di era itu dengan menggambarkan secara keseluruhan
bahwa sang priyayi tersebut memanglah mengampu bidang spiritual yang tinggi hanya
sebagai formalitas dan topeng bagi sesiapa yang melihat, namun berbanding
dengan apa yang dilakukannya (seperti halnya menggundik).
Segala
bentuk patriarki harusnya tak boleh sampai berlebihan sehingga dapat merubuhkan
kesetaraan gender di dalam masyarakat. Namun untuk feodalisme sendiri tak
patutlah masih bertahan hingga zaman yang serba modern ini. Cukuplah pada masa
lampau menggambarkan betapa banyaknya sisi buruk yang ditimbulkan daripadanya
sebagai pembelajaran di kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar