Resensi Buku : Cerita dari Jakarta
Resensi
Buku
Judul : Cerita dari Jakarta
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : HASTA MITRA
ISBN : 979-8659-25-2
Cerita dari Jakarta merupakan buku kesekian dari Pramoedya yang merupakan sekumpulan cerpen dengan penggambaran pada rentang tahun 1948 hingga 1956, tahun – tahun yang menyiratkan kesulitan nyata bagi kehidupan revolusi dan perjuangan sebuah kemerdekaan yang tak kunjung membuahkan hasil diharapkan pada yang semestinya terjadi. Buku ini memuat 12 cerpen disertai aura tokoh yang ditonjolkan dan begitu lekatnya dengan kehidupan bermasyarakat pada umumnya.
Seperti
yang kita ketahui, begitu tidak mudahnya mencerna dari kalimat yang satu dengan
lainnya apalagi dengan model ejaan lama belum lagi yang membawakannya ialah
seorang Pramoedya Ananta Toer yang dikenal sebagai bapak cerpenis pun
mengantongi gelar seorang perawi besar dan tidak pernah diragukan lagi karyanya
yang gilang – gemilang sebagaimana telah kita ketahui utamanya tetralogi pulau
buru. Walau demikian, cerita yang disajikan tak ubahnya sebuah putaran kisah
nyata mengenai dunia metropolis yang dikemas apik dalam sebuah cerita pendek
sarat makna. Beberapa diantaranya mengajak kita untuk merasai betapa pedihnya
kehidupan yang tak kesemuanya berkecenderungan sama seperti apa yang biasanya
disuguhkan oleh drama, sinetron, dan sejenisnya. Banyak sekali amanat yang
disampaikaan oleh Pramoedya dan tidak terkesan menggurui, sehingga daripadanya
kita merasa nyaman saat membaca bukunya.
Dari
sekumpulan cerpen, dapat disimpulkan bahwa buku ini mengangkat tema besar
Modernitas dalam sudut pandang saya. Tak jauh dengan penggambaran era modern
yang sudah bercampur aduk dengan norma, perilaku, dan praktik sosial budaya.
Keselurahan cerita meliputi masalah kampung yang jorok, pengangguran, ketergusuran,
dan cerita penghidupan oleh adanya sebab migrasi dari desa ke kota besar guna
mengadu nasib.
Ada
dua kalimat yang teramat meminta perhatian dari dua cerita pendek yang berbeda.
Pertama kurang lebih mengatakan :
“Tutup mulutmu, dan
gunakan kupingmu sebanyak – banyaknya”
-Pramoedya dalam
Keguguran Calon Dramawan (Cerita Dari Jakarta)-
Setidak
– tidaknya itu cukup memberitahukan kepada kita tentang bagaimana harusnya kita
berlaku dalam kehidupan kita, terutama saat akan membuat suatu kemajuan dan perubahan.
Agar kedepannya bisa menyimpulkan dari berbagai sumber tentang suatu hal guna
mencapai tujuan perubahan yang lebih baik tersebut. Benar, ada baiknya
terkadang menjadi seorang pendengar lebih baik, dari sana kita dapat mengetahui
banyak hal diluar apa yang menjadi pokok jalannya pemikiran kita. Karena,
antara kepala yang satu dengan yang lainnya tak pernah sama. Menjadi pendengar
juga melatih kita untuk memiliki kesabaran, ketajaman pendengaran, juga sebagai
seorang yang pemikir.
Kemudian
kalimat kedua yang begitu menyayat sanubari, terutama bagi seorang perempuan.
Bagaimana tidak jika ini menggambarkan sebuah peristiwa pergusuran yang mana
kala itu membuat seorang perempuan menghadapi kekalutannya dan mencoba mengadu
nasib di sebuah pusat kota. Kesulitan demi kesulitan ia hadapi dengan seorang
yang membawanya kesana. Ia terjebak dalam lingkaran hitam dunia pekerja seks
komersial yang mana merupakan pekerjaan menjijikkan dalam kacamata masyarakat
yang terkungkung dalam pranata sosial.
Bila
ingin dikata, bukankah adanya sesuatu pekerjaan tersebab ada yang membutuhkan?
Ada yang membuka jalan? Dan ada yang menyediakan tempat baginya berjalan?
Sebagai seorang perempuan, disini spekulasi mulai terbangun. Jika memang
pekerjaan itu hina, lalu bagaimana dengan koruptor? Tidakkah juga itu termasuk?
Lagipula jika memang benar itu harus ditumpas rata, mengapa tak salahkan juga
konsumennya yang bukannya semakin lama berkurang malah semakin besar
peminatnya? Jadi kesalahan pada akhirnya apa hanya ada pada perempuannya saja?
Padahal kita tak pernah tahu latar belakang apa yang terjadi dibalik kisah
hidupnya sebelum mengambil keputusan berat seperti itu.
Pada
sebuah kalimatnya di dalam cerpen, ada kalimat yang bilamana dibaca maka akan
menciptakan denyut nyeri pada ulu hati, menciptakan untaian betapa dan betapa
dengan versi yang lara, kurang lebihnya seperti ini :
“Kalau perempuan
melacurkan dirinya, dia jahat dan tak diberi kesempatanuntuk jadi baik kembali.
Tapi kalau lelaki melacurkan diri, tak ada yang menentang, dan dia masih juga
bebas, dia boleh berbangsa dengan kelacurannya, juga di depan umum”
-Pramoedya dalam
Kebayoran (Cerita dari Jakarta)-
Terlepas dari dua kisah sedikitnya yang saya jadikan
sampel utama buku ini, sebenarnya dari kesemua cerita pendeknya pun mengandung
makna yang teramat besar dan patut menjadi pelajaran dengan petikan hikmah bagi
sesiapa yang membacanya. Buku ini sangat disarankan untuk seseorang yang gemar
mengamati keadaan sosial dan turut menjadi pemerhati setiap detail wajah
bangsa.
Komentar
Posting Komentar