Bagaimana Ukuran Bahagia Itu?

Thomas Hardy, merupakan seorang pria kelahiran Stinsford, Dorset, Inggris pada 2 Juni 1840 dan meninggal pada usia 87 tahun tepatnya pada tanggal 11 Januari 1928. Ia dikenal sebagai seorang novelis, cerpenis, dan penyair Inggris yang diketahui beraliran naturalisme.



Dikatakan bahwa seorang Thomas Hardy adalah seorang yang berkeinginan menjadi penulis. Ia menulis banyak puisi namun beberapa kali dalam mencoba mengirimkannya ia terus saja ditolak. Dengan begitu berakhirlah ia dalam percobaannya membuat sebuah novel yang berjudul “The Poor and The Lady”, sayangnya juga ditolak karena dianggap terlalu sosialistis. Baru dalam novel keduanya ia menuai sukses dengan di terbitkan novelnya yang berjudul “An Indiscretion in The Life of Heiress”.



Sedikit gambaran mengenai tokoh legendaris yang menuangkan pemikiran ide dan gagasannya dalam sebuah tulisan ini, membuatku gemas ingin mengutip salah satu kalimat yang membuatku berkeinginan mengupas kalimatnya sejauh jarak pikirku atasnya.



“Kita Melihat Kebahagiaan itu Seperti Pelangi, Tidak Pernah Berada di Atas Kepala Kita Sendiri, Tetapi Selalu Ada di Atas Kepala Orang Lain”

-Thomas Hardy-



Menurut pendapatku apa yang ia gambarkan dalam kalimatnya sudah cukup mewakilkan bagaimana orang – orang begitu tertipu dengan kebahagiaan yang dipancarkan oleh individu lain tanpa mau melihat sejauh mana kebahagiaan itu benar tidaknya memang dirasakan.



Begitu gampangnya seseorang menilai, terlebih jika dihubungkan dengan orang di era modern ini. Begitu kentara akan pengukuran kebahagiaan yang terus saja dipatokkan kepada orang lain. Siapa yang tahu bagaimana kebahagiaan itu terjadi atau malah justru salah tafsir?



Dalam konteks lain ini seperti kita yang cenderung mudah tertipu dengan keadaan yang ditunjukkan oleh orang lain, baik di real life maupun dunia maya. Kemudian segala asumsi akan terlahir dan diperkuat oleh pembenaran pribadi atas itu.



Jauh di dalam alam bawah sadar kita pasti selalu mengelu – elukan nasib seseorang berdasar pada sekali pandang lewat mata. Ada pernah aku membaca dalam sebuah sosial media bahwa orang yang selalu memperlihatkan betapa ia bahagia adalah seorang yang dalam kesendiriannya selalu merasa terpuruk.



Entah benar atau tidak, aku setuju akan statement itu. Bukan tanpa alasan, terkadang antara individu yang satu dengan yang lainnya mengalami hal yang serupa sehingga tanpa dibuktikan oleh penelitian pun rasanya itu memang benar adanya.



Dari situ kita tahu bahwa seharusnya tak perlulah kita mengukur standar kebahagiaan atas apa yang dipertontonkan oleh orang lain. Kita tahu persis bahwa kebahagiaan itu tercipta dari diri kita sendiri. Bagaimana kita menjalani kehidupan dan selalu merasa bersyukur, maka sesederhana itu kebahagiaan jelas akan tercipta.



Sederhananya begini, mari ambil contoh kecil dalam kehidupan sosial media. Ada seseorang menggambarkan begitu romantisnya ia menjalani sebuah hubugan dengan lawan jenis. Tentu kita langsung berspekulasi bahwa mereka adalah orang yang beruntung dengan limpahan kebahagiaan yang biasa dikenal remaja sebagai perwakilan kalimat “uwu” yang tentunya sekarang mencapai tahap hype gila, dan biasanya selalu menempati fyp di sosial media seperti Instagram, dll.



Di real life? Apa yang mereka alami sesungguhnya belum tentu seperti apa yang diperlihatkan, bisa saja demi konten mungkin? Siapa yang tahu. Lalu bagaimana bisa kita melihatnya sebagai sesuatu yang pantas menjadikan kita mematokkan itu dan berorientasi pada kebahagiaan gambar sekali jepret yang hanya hitungan detik dalam pengambilannya?



Maka mulai sekarang hendaknya kita menghilangkan mindset pengukur kebahagiaan atas kehidupan orang lain. Berfokuslah pada diri, karena jika kita terus membandingkan kadar kebahagiaan kita dengan orang lain maka tak akan pernah ada habisnya. Seperti yang kita tahu manusia selalu merasa kurang dengan apa yang dipunya. Cukup berbahagialah dengan apa yang terjadi tanpa harus melihat ke arah orang lain. Be wise people,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku : Selingkuh - Paulo Coelho

Resensi Buku : Skenario Perang Dunia III

Done for me