Too Young for Married Life : "MENIKAH MUDA SENGSARA MUDA?"
Mungkin
kalian ingat aku pernah menyinggung sedikit mengenai “menikah”. Yah, menikah
itu adalah ibadah yang dikatakan sunnah bagi mereka yang mampu dan dalam
kondisi khusus hukumnya bisa menjadi berbeda (dilansir dari laman NU online).
Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :
“Wahai
para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu
lebih menentramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah
karena puasa bisa menjadi tameng baginya” (HR. Bukhari No. 4779).
Menikah
dalam konteks sesungguhnya maka tak akan menjadi masalah atas dasar kesiapan
segala aspek yang diperhatikan. Tapi, nyatanya dengan segala hal yang berbau
modern ini menikah tak melulu
memiliki pertimbangan dan kesiapan yang pas. Padahal menikah itu adalah sesuatu
yang “maha” dan perlu kebenaran serta keteguhan kepercayaan atasnya bahwa
memang telah siap menghadapi segala konsekuensinya.
Aku
berada di desa dimana setiap remajanya masih memegang prosentase tinggi
pernikahan di bawah umur. Jadi, beberapa dari kalian yang berkunjung kesini
mungkin berpikiran bahwa anak kecil yang direngkuh merupakan adik, maka selamat
anda telah tertipu. Hihi,
Aku
tak mengerti persis mengapa di zaman yang serba modern ini dan segala
kecanggihan peradaban telah mencapai ke pelosok desa sekalipun namun masih memiliki
pemikiran terbelakang.
Seperti
yang kita ketahui, menurut versi BKKBN idealnya menikah dari penilaian sisi
biologis ialah rentang usia 20-21 tahun ke atas. Karena bagi wanitanya sendiri jika
menikah dalam usia dibawah yang telah ditetapkan itu maka akan berkemungkinan
memiliki resiko tinggi terkena kanker serviks.
Sedangkan
menurut data terbaru revisi dari DPR dalam rapat paripurna mengenai UU No
1/1974 yang salah satunya berisi tentang pernyataan usia minimum pernikahan
baik laki – laki maupun perempuan menjadi 19 tahun.
Lalu
bagaimana usia pernikahan dalam islam? Sebenarnya tidak disebutkan batas usia
ideal untuk menikah itu sendiri. Seperti dari kisah yang ada, Rasulullah SAW
menikahi Aisyah ra pada usianya yang menginjak enam atau tujuh tahunan dan
mulai menggaulinya pada saat beranjak di usia sembilan tahun (Tapi ini di zaman
Rasulullah yang notabenenya berbeda dengan zaman sekarang). Aku sempat
mendengar seseorang berkata padaku bahwa wanita atau anak gadis di zaman
Rasulullah sudah memiliki kematangan pikiran dan fisiknya bahkan di usia kanak
- kanaknya. Namun kembali lagi pada pendapat setiap individu, karena aku tak
bisa menguatkan pendapat yang satu ini.
Kembali
lagi pada pembahasanku, sebenarnya menurut pendapatku pribadi yang secara
langsung bersangkutan dengan beberapa temanku yang telah menikah tak jauh dari
kata “kasihan”. Ada banyak faktor yang membuatnya harus menikah dalam usia
muda, bahkaan ada juga temanku yang baru tamat SMP sudah harus menikah. Cukup
miris mendengar fakta seperti ini.
Untuk
alasan menikah versi mereka sendiri bermacam – macam, yang diantaranya karena
orangtuanya menganggap ia sebagai beban kalau masih bersekolah (ini dalam
pemikiran orangtua yang memiliki anak berjenis kelamin perempuan), karena
“kecelakaan” (bukan dalam artian sesungguhnya), adanya mindset “ujung-ujungnya perempuan tak akan jauh dari 3M” katanya (Macak, Manak, Masak = Berdandan,
Melahirkan, dan Memasak), kurang adanya dukungan keluarga mengenai pendidikan,
adanya “virus nikah muda” yang digalakkan oleh beberapa komunitas, dan faktor
budaya yang ada agar tak berzina katanya.
Apa
yang terjadi setelah pernikahan? Awalnya mungkin masih terlihat biasa dan
mengumbar banyak keromantisan bahkan di ranah publik sekalipun. Namun dalam
kisaran waktu sekitar lima bulanan setelah menikah mulailah bibit masalah
bermunculan, seperti isu perselingkuhan, tidak cinta lagi (Alasan yang sampai
detik ini membuatku tak habis pikir), atau bahkan penyesalan atas beberapa
alasan.
Untuk
kasus lain, ada pula yang mengalaminyaa saat tengah hamil anak pertama dan
kemudian ditinggal pergi oleh suaminyaa untuk itu setelah melahirkan baru
diceraikan. Ada pula keadaaan dimana teman perempuanku selalu menangis dan
meratap menyesali keadaannya yang telah berkeluarga dan memiliki anak, ia masih
suka ikut menangis saat anaknya menangis karena tidak paham akan apa yang
seharusnya ia lakukan.
Aku
tak bisa menjelaskan dari sisi laki – lakinya. Karena yang kebanyakan menikah
adalah teman – teman perempuanku.
Dengan
segala kondisi itu, melahirkan banyak pemikiran yang bermunculan dalam diriku.
Berbicara mengenai pernikahan. Pernikahan bukan hanya untuk mengubah status
menjadi “halal”, bukan hanya untuk pamer di sosial media, bukan untuk membebaskan
dari masalah keluarga (broken home),
dan juga bukan untuk mengikuti trend
“nikah muda”.
Pernikahan
di katakan sakral karena sejatinya di dalam pernikahan memuat janji baik kepada
Sang Maha Pencipta, kepada satu sama lainnya sebagai pasangan, dan untuk
menyatukan kedua keluarga besar.
Untuk
menuju jenjang itu, banyak yang harus menjadi pertimbangan yang antara lainnya
ialah masalah finansial (walaupun dalam islam hal ini tak menjadi titik berat
untuk melangkah ke dalam jenjang pernikahan), masalah kematangan berpikir,
masalah kesiapan mental, masalah kebijakan yang nantinya akan mengemban tugas
sebagai madrasah pertama putra –
putrinya, serta masalah keteguhan diri untuk menjaga komitmen menjalani ibadah
yang panjang dalam bahtera rumah tangga.
Sedikit
banyaknya itu nyatanya masih tidak bisa menggugah pemikiran beberapa orang.
Lagi dan lagi ini juga dipengaruhi oleh pola pikirnya yang berkembang di
lingkup ia bersosialisasi. Seharusnya dari beberapa gambaran ini cukup menjadi
pelajaran bagi usia sekolah dibawahku tentunya.
Penyesalan
hanya tinggal penyesalan, nasi pun tak akan kembali menjadi beras. Yang sudah
terlanjur ada baiknya dilakukan saja sesuai dengan alur yang ada, dan bagi yang
masih “akan” semoga dapat mempertimbangkan dengan matang resiko – resiko yang
akan dihadapinya kelak saat telah berumah tangga.
Komentar
Posting Komentar