Terpelajar Katanya!

“Apakah yang Masuk Dunia Pendidikan Formal dengan Belajar bisa Disebut Terpelajar?”


Ckk, It`s just about what evolved in society. No Clue!!!


Mari lepaskan sedikit batasan berpikir selama kau berselancar dalam dunia penulis ulung semacamku, khawatir aku membuatmu terjerembab dalam amarah apabila sepatah demi sepatah kalimat akan menyakiti egomu.


Disinilah aku sekarang dengan kumpulan semangat yang sebisa mungkin ku rakit demi terselesaikannya tulisan yang barangkali tak penting ini. Oh ayolah, siapa aku bisa meminta perhatian khalayak ramai?


Ku susun sebaik mungkin kalimat di dalam otakku agar saat membuncah tak berikan kecewa terhadap siapapun yang membawa ekspektasi tinggi akan tulisanku, setidaknya aku mengusahakan sebuah perkembangan atas tulisan demi tulisan beberapa hari ini.


Berbicara mengenai kata “Terpelajar” baiknya ku giring dahulu dalam pengertian menurut KBBI. Ialah memiliki arti telah mendapat pelajaran (di sekolah). Berkacalah aku yang sok tahu ini akan dunia pendidikan dan penghuninya di era melimpahnya forum pendidikan formal dalam negara, provinsi, kota, bahkan daerah desa sekalipun.


Bagaimana tentang cemoohan terhadap minoritas di sekolah?

Bagaimana sikap tak menghormati yang lebih tua menjadi hal yang tersisihkan dalam fokus utama?

Bagaimana perihal budaya anggapan si kaya dan si miskin menjadi acuan terhormat tidaknya seseorang?

Bagaimana pendapat hina tidaknya hanya di dasaran pada sebuah profesi?

Lalu halal haramnya suatu tindak yang menjadi alasan penghakiman atas sesama, bagaimana dengan itu kemudian?


Ampuni aku yang menyajikan banyak bentuk “bagaimana” guna menjadi sorotan dalam topik. Alasannya tersebab itulah yang selama ini ku temui di dunia pada masa pendidikan formalku dalam forum yang dinamakan sebagai sekolah.


Dari kesemuanya memunculkan buah pikiranku yang sekiranya berbunyi : “Ternyata pendidikan tak menyajikan apa yang sangat penting di dalam bersosialisasi dengan masyarakat, atau barangkali sudah? Namun karena sebuah kesalahan entah pada sumber, panutan, atau cara mengajar, lebih – lebih mungkin kapasitas otak penerima ilmunya makadari itu terlahirlah beberapa sosok pengenyam dunia pendidikan yang di katakan masyarakat luas sebagai yang terpelajar dalam tanda kutip?”


Bisa kiranya itu menjadi hal yang memalukan bagi dunia pendidikan itu sendiri. Tentang apa yang telah di ajarkan, tentang apa yang telah dicontohkan, tentang apa yang telah dipetikkan sebuah hikmah agar terlahir gagasan berbudi setelahnya, nyata tak memberikan suatu gerakan dalam diri untuk meresapinya sebagai sesuatu yang perlu guna menjadi bekal di kemudian hari saat telah berpulang di masyarakat. Miris,


Aku khawatirkan sebuah pandangan mereka yang tak seberuntung kita mengenyam pendidikan dalam forum formal bahwa apa yang diajarkan tak ubahnya seperti binatang yang berusaha diajak mengerti bahasa kemanusiaan, yah! takkan pernahlah bisa diterima apalagi diterapkan. Bukan begitu?


Lantas segala bentuk mata pelajaran di bidang akhlak dan agama hanya dianggaplah sebagai angin lalu yang tak berfaedah. Kacau, bilamana gelar terpelajar yang disematkan terhadap kita membawa diri hanya untuk terlihat sedemikian rupa intelektualnya di hadapan orang kampung, orang awam, orang pinggiran, bahkan seorang tunasosial.


Sebenarnya dari sini ku anggaplah setiap dari kita secara tak langsung mengamini hal yang ku paparkan sebagai awalan di paragraf atas yang membosankan.


Berpendapatlah aku kemudian bahwa sebenarnya gelar “Terpelajar” yang disematkan tak melulu menjurus pada ia yang mengenyam pendidikan di forum formal. Walau dari pengertiannya sendiri di dalam KBBI Mengatakan demikian, bila membaca keadaan yang ada nampaknya itu tidaklah menjadi sesuai yang mencerminkan seseorang benar mendapat pelajaran.


Keadaan sudah semakin rumit, zaman berkembang dengan pesatnya, dunia tekhnologi tak terelakkan, bahkan perilaku – perilaku individualisme terakibat majunya zaman semakin mengerikan.


“Berikan aku 1000 orangtua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”

-Ir.Soekarno-


Kemudian kalimat melegendanya itu menyentuh sanubari. Harap – harap cemas aku menuangkannya dalam bentuk tulisan, gemetarlah jariku mengetikkan kalimat per kalimat disini. Tahulah kalau ini teruntuk kaum muda – mudi, karena tak mungkin aku bersuara di depan orang banyak yang belum tentu mereka paham betul apa yang ingin kusampaikan.


Tak banyak perubahan bisa terjadi dalam mindset “Terpelajar” yang dipahami masyarakat atas penyataan yang ku paparkan. Tapi setidaknya bagi kita kaum yang mengaku menguasai kemajuan dan akan terus berkembang sedikit memperbaiki kebobrokan yang terjadi dan berorientasi pada kata “bagaimana” yang masih sebagian kecil menggambarkan keadaan kaum yang katanya terpelajar ini.


Tidak baik memang menjadi seolah menggurui, maka jadilah kita bagian yang benar – benar pantas dikatakan sebagai yang terpelajar. Syukur bilamana teman sependidikan menyadari dan tertular untuk melakukan hal yang sama dan menjauhi keburukan yang akan menjatuhkan nama baik pendidikan dalam dunia formal itu.


Disarankan bila telah mencapai batas ketidakwajaran, maka lawanlah dengan sesuatu ucapan berdasar yang mengajak pikirnya melayang memikirkan baik buruk yang terjadi (Agaknya buku tetralogi pulau buru karya Pramoedya Ananta Toer menjadi buku yang cocok untuk mengembangkan daya pikir). Masih bebal? Lupakan, barangkali kapasitas otaknya tak mampu menerima hal baru selain yang dapat ia pahami. Fokuslah terhadap ia yang mau beranjak, doakan bagi ia yang bebal barangkali suatu waktu dibukakan pintu hatinya oleh Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!