Resensi Buku : Saman
Resensi
Buku
Judul :
Saman
Karya :
Ayu Utami
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan pertama : April, 1998
Ketebalan :
x + 205 halaman
ISBN :
978-979-91-0570-7
Ayu Utami lahir di Bogor, 21
November 1968, ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliahnya di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia. Ayu pernah menjadi wartawan di Matra, Forum Keadilan,
dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde
Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan.
Kemudian ia bekerja di Komunitas Salihara. Karena karyanya dianggap meluaskan
batas penulisan dalam masyarakatnya, ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000. Karya dari Ayu Utami antara
lain ialah Saman(1998), Larung(2001), Manjali dan Cakrabirawa(2010),
Maya(2013), Bilangan Fu(2008), dan masih banyak lagi.
Namun disini yang kita bicarakan
ialah novel Saman yang amat terkenal karena berhasil menyabet penghargaan
sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1998, serta penghargaan Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, yakni sebuah yayasan
yang bermarkas di Den Haag, Belanda yang bermisi mendukung dan memajukan
kegiatan di bidang budaya dan pembangunan.
Novel Saman mengisahkan persahabatan
antara Wisanggeni (tokoh Saman) dengan Laila, Shakuntala, Yasmin, dan Cok. Pada
awalnya diceritakan mengenai sosok Laila yang jatuh hati dengan Sihar (telah
beristri), Laila pun diantara kawanannya adalah sosok yang paling teguh
mempertahankan keperawanannya. Disini pula dijelaskan bahwa dahulu saat masih
remaja, Laila pernah menjalin hubungan dengan Wisanggeni. Dengan kedua latar
belakang agama berbeda, Laila yang beragama islam dan Wisanggeni yang beragama
kristen. Walau pada akhirnya Laila tak menaruh hati lagi terhadap Wisanggeni.
Lalu dilanjutkan pada kisah
Wisanggeni yang dalam hal ini karena sebuah peristiwa akhirnya ia mengubah
identitas dan namanya menjadi “Saman” tanpa alasan khusus. Di bagian ini pula
digambarkan kejadian masa kecilnya yang berbau metafisika dan hingga beranjak
dewasa hal tersebut masih menghantuinya.
Kemudian kisah Shakuntala
setelahnya. Disini diceritakan bahwa seorang Shakuntala adalah sosok perempuan
yang membenci ayahnya terlampau sangat. Karena menurutnya, baik Ayah ataupun
kakak perempuannya tak pernah menghormati dan menghargainya.
Cok, dalam cerita ini ia hanya
menjadi secuil picisan pelengkap yang paling sedikit kisahnya, dan pada intinya
ia dikesankan sebagai pemuda binal di masa remajanya sehingga ia harus
dipindahkan oleh kedua orangtuanya dan dipisahkan dengan teman-teman
sepermainannya.
Bagian
terakhir dikisahkanlah seorang Yasmin. Sosok Yasmin adalah pribadi yang tidak terpaku
pada norma kesopanan. Ia adalah seseorang yang membenci guru karena suatu
sebab. Di bagian penutup ini lah disuguhkan saling berkirimnya email antara
Yasmin dengan Saman yang dapat dipahami bahwa Yasmin menjalin hubungan
terlarang dengan Saman (berselingkuh).
Yang
pertama menjadi fokus dalam beberapa saat sebelum membaca isinya ialah sampul
halamannya, yang merupakan lukisan kaca dari Ayu Utami sendiri. Memang terlihat
Aesthetic, dari judul dan gambarnya
yang terkesan menyimpan teka – teki tersendiri agar pembaca kemudian mempunyai
rasa ingin tahu yang tinggi mengenai bagaimana isinya. Walau dalam sekali
melihat akan sedikit membuat pemikiran langsung menjurus pada sesuatu yang
berbau pornografi.
Dari keseluruhan cerita, sebenarnya setiap kisahnya seperti tidak berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan dalam pembahasannya cenderung lebih banyak menyoroti dua tokoh, yakni kehidupan percintaan Laila dan yang kedua ialah kehidupan Wisanggeni / Saman berikut juga kisah cinta terlarangnya sebagai akhiran.
Namun
novel ini dinilai kaya di dalam sepanjang sejarah sastra Indonesia (Farukh
H.T.), memiliki teknik komposisi yang belum pernah dicoba oleh pengarang lain
(Sapardi Djoko Damono), dan Ayu sendiri sebagai penulis dinilai memiliki
integritas yang tinggi (Pramoedya Ananta Toer).
Terlepas
dari itu semua, beberapa hal yang dikisahkan di dalamnya menyimpan pesan
tersirat. Yang dalam hal ini saya pribadi menyimpulkan bahwa antara lelaki dan
perempuan memiliki kedudukan yang sama.
Kelemahannya,
dalam beberapa kalimat yang ada di dalam novel ini terkesan sangat vulgar, dan
dijelaskan secara mendetail atasnya. Selain itu bahasanya juga cenderung
berbelit – belit dan tidak mudah dipahami karena banyak menggunakan kata kiasan
dan majas. Saya rasa buku ini hanya cocok untuk usia yang benar – benar dewasa
atau sudah dalam kategori berkeluarga. Mengingat penggunaan dan pemilihan
bahasanya yang tak dipilah dan memang mengantongi label pornografi kasarannya.
Komentar
Posting Komentar