Resensi Buku : Bumi Manusia
Resensi
Buku
Judul :
Bumi Manusia
Karya :
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit :
Lentera Dipantara
ISBN :
979-97312-3-2
Minke,
ialah tokoh utama berjalannya buku Bumi Manusia ini. Seorang rakyat pribumi
yang berkesempatan bersekolah di sekolah H.B.S yang kita ketahui dalam sejarah
merupakan sekolah pendidikan menengah umum besutan Belanda, Eropa. Yang
bersekolah disini pun tak main-main, hanyalah kaum Belanda, Eropa, Tionghoa,
dan Elite Pribumi saja.
Perjalanan
Minke (bukan nama asli) yang rumit pun dimulai dengan teman yang sebenarnya
ingin menjatuhkannya (Robert Suurhof) namun dalam keadaan seolah ia adalah
teman. Mengantarkan ia akan sebuah pertemuan dengan gadis Indo (Blasteran
Pribumi-Belanda) yang tak ubahnya memiliki latar belakang yang buruk, dikenallah
ia sebagai keturunan seorang nyai atau gundik.
Nyai
Ontosoroh, ia adalah tokoh kedua yang turut menguatkan isi novel ini dengan
keterkaitannya langsung terhadap kehidupan tokoh utama. Seorang Nyai yang dalam
kehidupannya nyata memiliki edukasi baik dari seorang yang menjadikannya
gundik, yakni Tuan Herman Mellema.
Sekilas
nampak penjabaran utuh alur kisah mengenai kehidupan dan kecerdasan seorang
Nyai tersebut. Tersemai dalam dirinya akan sebuah kebencian terhadap masa
lalunya sehingga menggiring ia untuk menyetarakan kedudukannya layaknya seorang
Eropa totok.
Seperti
yang kita ketahui pada umumnya, kehidupan seorang gundik tak ubahnya sebuah
boneka hidup yang harus berpasrah diri akan apa yang tuannya lakukan.
Kekerasan, tindakan tidak manusiawi, serta pelecehan identik atasnya.
Pramoedya
mengisahkan dengan epos yang menarik dalam sekali baca pada bagian awal. Buah
pikirannya cerdas mengangkat suatu karya yang bersifat fiksi namun tokoh
utamanya bercermin pada sosok asli yakni Tirto Adhi Soerjo yang dikenal akan
keberaniannya mengecam Pemerintahan Kolonial Belanda.
Diketahui,
Pramoedya menulis Bumi Manusia saat di dalam sel tahanan, ia pun sempat
menceritakan secara langsung terhadap teman sesama tahanannya. Hingga
dikatakanlah ia mendapat pinjaman sebuah mesin tik tua dan mulai menuliskannya.
Pun
nyatanya tak semudah yang di pikirkan, naskahnya sebagian menjadi sitaan sipir
penjara kala itu. Juga, saat telah
tersusun menjadi sebuah naskah utuh malah dilarang peredarannya karena dianggap
memuat pesan Marxisme, Komunisme, dan Leninisme.
Banyak
yang menyita perhatian dalam sebuah karangan novel yang melegenda ini. Yang
diantaranya pertama ialah sampul cerita. Dimana menggambarkan sebuah andong
dengan ke empat orang di atasnya yang saya sendiri bisa menafsirkan itu sebagai
Nyai Ontosoroh, Annelies, Minke, dan seorang kusir setia dari keluarga Mellema
yang bersuku Madura yakni Darsam. Saya menyukai pemilihan warna dan kesesuaian
gambar dalam sampul bukunya. Kesesuaian antara pemilihan warna dan gambar yang
tertera sudah cukup melukiskan tokoh yang menjadi gagasan utama novel ini.
Merembet
pada isinya, saya akui kecerdasan seorang Pramoedya dalam menjelaskan secara
detail akan keadaan dan situasi yang mendukung pembaca membangun imajinasinya
sendiri. Walaupun gaya bahasa yang ditorehkan merupakan gaya bahasa yang
cenderung sulit dipahami dan banyak menggunakan pemilihan kata yang rumit dan
tak jarang menyelipkan sebuah kiasan di dalamnya.
Indah
memang untuk dilihat dan dibaca khususnya bagi pecinta sastra. Namun inilah
yang menjadi masalah utama mengapa novel ini belum disarankan untuk orang awam
maupun usia di bawah remaja delapan belas tahunan. Mengingat pula beberapa
kalimat menggambarkan sebuah tindak asusila maupun kekerasan.
Sejauh
apa yang saya amati, alur kisahnya tak cukup membingungkan dan mudah dipahami.
Sejarah dan perjuangan yang disampaikan pun tak sampai melebih-lebihkan apa
yang sebenarnya dalam dunia nyata mungkin saja pada zaman dahulu terjadi.
Mengingat garis besar ceritanya menjadikan tokoh terkenal sebagai acuan.
Dari
keseluruhan cerita cukup memberikan gambaran luas akan pemahaman mengenai pola
peradilan zaman kolonial yang memiliki keterkaitan dengan zaman sekarang ini,
perjuangan yang mengandalkan sebuah keberanian untuk menyuarakan perlawanan
akan ketidak adilan, pencerminan akan prilaku pribumi yang berkecenderungan
mengagungkan Bangsa Eropa (diketahui dari kisah Ayah Minke dan Juru tulis atau
ayah dari Nyai Ontosoroh), keberanian menyetarakan hak antar etnis dan budaya,
dan masih banyak yang lainnya.
Saya
pribadi menyoroti kutipan akhir dalam novel ini yang berbunyi : “melawan
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Di dalam buku, tentulah kita tahu makna
akan penggalan kalimat itu yang menyiratkan inti dari keseluruhan isinya, walau
terkesan mengalami kekalahan namun nyatanya berjuang hingga titik darah
penghabisan sudah cukup bisa dikatakan sebagai perlawanan sebaik dan sehormat
mungkin.
Dalam
praktik nyata, melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya memiliki pandangan
dan cara tersendiri bagi pembaca. Ada kalanya hal ini bisa dilakukan dengan
membaca, dengan menjadi pengamat serta kritikus masalah sosial, atau pun
meleburkan diri dalam sebuah bidang kepenulisan agar nantinya bisa menyuarakan
sebuah tindak ketidakbenaran maupun sejenisnya dengan berdasar pada fakta
objektif yang ada.
Setidaknya
pemahamanku demikian atasnya, karena sejatinya melawan yang dimaksudkan
bukanlah melawan dengan kekerasan, bukan pula membenci orangnya sebagai pelaku
melainkan melawan karakter dan kelakuannya yang menyimpang (tentu tanpa
menghilangkan rasa hormat).
Komentar
Posting Komentar