Remah Pinggiran yang Terabaikan
Ilustrasi gambar
Hari ini aku pulang ke daerah asalku, Kota Probolinggo. Ada sedikit rasa seperti kehilangan dan seperti tidak ingin pulang. Entah ini perasaan senang atau mungkin hanya perasaan nyaman. Aku tidak mau memusingkan hal itu, karena apapun jawabnya tetap tidak bisa mengubah apapun yang sudah terencana.
Sekitar pukul tujuh pagi aku sudah sampai di pelabuhan. Oh yah, beberapa kali aku menemui banyak anak kecil dengan baju kumuh dan terlihat tak terawat berlalu lalang menyapa semua pengunjung dengan menengadahkan kedua tangan.
Aku selalu melihat sekeliling, barangkali ada seseorang dewasa yang disebut “orang tua” sedang memperhatikan mereka dari kejauhan. Nihil, aku tak melihatnya sejengkal hidungpun. Anak – anak kecil itu memelas meminta sedikit rezeki kepada siapapun yang mereka temui.
Dengan bibir mungil dan mata sayu yang terlihat melebarkan pupil matanya, kurasa mereka sudah cukup lama melakukan hal semacam ini. Entah saat usia mereka berapa, tapi terlihatnya sudah berpengalaman. Mereka menuturkan kata yang lemah, berharap lawan bicaranya mengiba. Awalnya menggunnakan bahasa Indonesia, tapi saat orang yang dijumpai dan berbicara padanya menolak memberikan sedikit uang maka mereka akan menggunakan bahasa daerahnya yakni bahasa Madura, mengumpat.
Aku mengerti dan paham betul akan apa yang diucapkan anak itu, karena daerah Probolinggo juga sebagian besar masyarakatnya menggunakan bahasa Madura. Dan aku cukup familiar akan hal itu.
Yang menjadi tanda tanya besar dalam pikirku, apakah hal semacam ini belum mendapat perhatian dari petugas keamanan? Dan lagi pula mereka juga masih tergolong sangat kecil dan bisa saja belum memasuki usia sekolah. Siapa yang tau? Aku hanya melihatnya sebatas mata telanjang saja tanpa tau bagaimana latar belakangnya.
Sempat terlintas untukku menanyakan mengenai hal ini. Tapi aku tak yakin akan ada orang yang mempunyai jawaban atas segala pertanyaan yang berkecamuk di dalam diriku.
Kasihan, iba, dan mungkin sedikit kurang nyaman melihat keadaan itu. Tapi jika memilih untuk memberi mereka bukankah nantinya mereka akan terbiasa untuk meminta pada orang? Lalu mengumpat dan berujar sumpah serapah yang seharusnya tidak dikatakan oleh usia yang sekecil itu apabila tidak mendapat yang mereka inginkan? Tapi kembali lagi, memangnya masih ada yang peduli yah?
Hari Sabtu, menjelang memasuki waktu Maghrib tepatnya saat akan melakukan penyebrangan ke pelabuhan perak aku melihat dua anak kecil. Satu laki – laki dan satu yang lainnya perempuan.
Karena jumlah uang yang dibatasi untuk keperluan perjalanan, dan aku tak memegang sepeser pun lembar rupiah maka aku tak bisa memberikan apapun kecuali lontaran kata “tidak”. Aku melihat raut kecewa pada gadis mungil itu, sedang yang satunya sibuk menyumpah serapahi temanku. Yah aku maklum, temanku tak mengerti bahasa Madura. Tapi aku tau apa yang diucapkan anak kecil itu. Miris, kiranya dimana figur orang tuanya? Apa yang kedua anak itu pelajari? Dan apa yang membuat mereka bisa melakukan hal ini?
Sebenarnya aku ingin bertanya langsung pada anak kecil itu, tapi aku urungkan niatku berhubung menurut penglihatanku sepertinya mereka tak akan mau berinteraksi secara lebih jauh dengan orang lain yang baru mereka temui.
Alhasil, selama perjalanan dalam penyebrangan aku selalu memikirkan beragam pertanyaan yang terus mengusik tenangku. Dan ini baru berakhir saat aku sudah mulai dihadapkan dengan penugasan di beberapa tempat.
Dari sini, bisa diketahui bahwasannya masih banyak di luaran sana berbagai macam faktor ekonomi dalam keluarga yang pada akhirnya harus mengorbankan anak untuk menarik simpati orang agar bisa bertahan hidup, walau demikian bukankah hal semacam ini tetap tidak bisa dibenarkan? Melihat rentang usianya, harusnya mereka di rumah mendapat kasih sayang, mendapat cerita baru dalam aktivitas bermainnya, maupun belajar yang layak akan sebuah tata krama dan aspek lain dalam pembelajaran.
Aku tak bisa menyalahkan siapapun, karena disini yang kulihat hanyalah sekilas tanpa tau bagaimana cerita di balik semua yang terjadi pada mereka. Semoga lain kali aku berkesempatan untuk bertemu lagi dengan mereka. Walau tidak bertanya, setidaknya aku bisa mengamatinya dari kejauhan lagi untuk beberapa alasan yang tidak bisa kujelaskan mengingat betapapun banyaknya segala jenis pertanyaanku.
Komentar
Posting Komentar