Mesti Allah?
Sore
itu simbah sibuk bersiul memancing bunyi burung perkutut yang dibelinya
kemarin. Air liurnya loncat kesana – kemari seperti mencari alamat (Bukan Ayu
TingTong masih simbah), tahulah kiranya lha
wong udah nggak ada pagernya kok
(sebut saja untu).
“Ealah
mbah mbah!!! Kok liurnya senengane
tamasya sampai ndasku ketampesan” sungut bocah kecil yang berjuluk guco itu
“Salahmu
sendiri ngapain duduk di depan situ, kan mbah gak ngurus seh” jawab
simbah tak kalah sengit
Belum
lagi tuntas masalah dinasti kepemimpinan dan pergerakan ormas yang lagi viral
sampe bikin mlukok itu, nyatanya dua
orang yang berstatus simbah dan cucunya ini lebih suka mendebat dan berseteru
selain yang digemari banyak orang yang menjabat sebagai pengacara itu
(Pengacara = Pengangguran banyak acara).
Bambang
Suripono, itu namanya. Namun karena kepandaiannya yang sundul langit itu membuat simbahnya lebih suka memanggil bocah
sepuluh tahun itu dengan nama guco (Pegangan utama).
“Sek kah mbah, aku kok terpikirkan
sesuatu yah” ia menatap gerak – gerik simbahnya sambil sesekali menghapus
ingusnya yang mbleber ke sepanjang
pipi gembulnya itu.
“Opo maneh? Kamu mau tanya politik lagi?
Seneng lak simbahmu ini nanti ditangkep
terus kena pasal yang nggak nggak itu gegara pertanyaanmu yang nyeleneh? Lagian sek bocah aneh – aneh aja
tanya sampe mikirin masalah pemerintah”
“Ihh
simbah baperan, nggak mbois!”
“Aku
lagi males bahas gituan mbah. Saiki maune
tanya soal ketuhanan”
“Ketuhanan
Yang Maha Esa kuwi sila dari pancasila pertama, mmmmm, wes tah” tanpa beralih
pandangannya sedetik pun dari pesona burung perkututnya
“Ihh
wes tuwek gaweane sotoy simbah iki”
“Wes
rasah kakean mencla – mencle. Apa
yang mau kamu tanyain ke simbah? Ndangan
simbah lagi sibuk sama Marimar”
“Lololohhhhhh
.. baru dibeli wes punya nama, Marimar lagi. Duh Mbah mbah kok yah ada ada aja”
suara tawa seorang guco menggelegar mengalahkan toa masjid
“Wes tanya opo? Cepetan” raut simbah
sudah tak bersahabat lagi tanda perang pemilu akan di mulai, eh nggak deng!
Hahah ..
“Nganu mbah, kemarin pas ngaji keceplosan
aku bilang Pengeran. Lah pak Ustadz
marah mbah katane paling bagus itu
menyebut Allah. Aku jengkel mbah, ya wes tak bilang kalau simbah suka menyebut Pengeran kok aku nggak boleh” Adunya dengan
alis yang hampir menyatu
“Hmm,
terus?” simbah menghampiri guco dan menghapus ingusnya dengan baju batik yang
dipakainyaa sore itu.
“Yo
percuma toh mbah, aku di ceramahi ngalor
ngidul sampe gak ketemu ujunge. Mau jawab eh aku belum tau dari simbah seh
kenapa juga simbah nyebutnya Pengeran?
Lagi aku ingat kata simbah kalau kita bicara harus punya dasare dulu, yawes paling
aman aku kicep dulu tapi nanti lak wes tahu aku bakal langsung kerumahnya pak
Ustadz” semakin panjang kalimat semakin tinggi suara cemprengnya guco menyapa
telinga
Simbah
menarik tangan guco untuk duduk di teras depan sambil menikmati angin sepoi –
sepoi.
“Le,
guco.. pertama yo kamu nggak boleh seperti itu sama orang yang punya pendapat
berbeda, Ustadzmu itu gurumu yang pasti harus kamu hormati.”
“Kamu
ini serius tah mau tahu apa artinya Pengeran
dan kenapa simbah selalu menyebut-Nya Pengeran?”
Anggukan
semangat guco mengundang gelak tawa dari simbah, yang sesekali gemas menyapu
ramput plontosnya kuat – kuat dengan jemari keriputnya.
“Jadi
Pengeran itu asalnya dari kata Pangengeran yang bisa disebut dingengeri, diabdi, dan Dia yang menjadi
tujuan seorang hamba”
“Lah
kannnnn! Aku wes mau jawab gitu kok mbah” serunya semangat
“ayo
sek di dengarkan simbah ngomong belum rampung
kok”
“Lanjut
mbah” cengirnya
“Kita
tahu sebagai manusia kalau Tuhan itu tak berbangsa, tak berwarga negara, dan
tak bernegara. Iyo opo iyo?”
Anggukan
lagi yang diterima simbah
“Sek
mbah, terus apakah nama-Nya mesti Allah sebagaimana yang dikasih tahu pak
Ustadz?”
“Guco,
nama itu dipakai supaya kita ndak keliru, ndak salah untuk menyebut lebih dari
satu. Misale simbah nduweni burung
perkutut telu terus tak kasih nama
Marimar, Markiso, sama Marimas, lah itu tujuane supaya kita tahu dengan baik
nama – nama dari perkutut itu tadi. Lantas kalau kita tahu sinar matahari yang
jatuh ke bumi kita sebut srengenge,
terus di bahasa inggris katamu Sun,
terus bahasa indonesiane surya lah terus ngapain bertengkar memperebutkan nama
lak intinya Cuma satu dan hanya berbeda bahasa?”
“Aduh ngelu mbah, tapi kata pak Ustadz
Allah itu kan nama Tuhan yang diperkenalkan Oleh-Nya sendiri kepada Kanjeng
Nabi Muhammad SAW, itu pripun mbah?”
Simbah
memamerkan giginya yang tinggal dua itu saat tawanya menyusul kalimat guco.
“Iyo
paham, saiki simbah sedikit ngomong ayat yoh. Surat Al Isra` yang artinya
Serulah Allah atau Ar – Rahman dengan nama yang mana saja, karena bagi-Nya nama
– nama yang baik itu”
“Kalau
gitu mbah bunyi ayatnya, berarti secara gak langsung bebas toh kita
menyebut-Nya pake bahasa sendiri?”
“Yo,
tenan le. Baik lak kita menyebut
dengan bahasa sendiri yang tentu meresap di dalam hati. Kenapa? Soale ungkapan
iku asale dari hati yang terdalam
terus melekat di dalam jiwa. Paham gak?”
“Paham
mbah”
“Satu
hal yang simbah minta ke kamu le, mbok yah nanti waktu sudah dewasa kalau
menyebarkan agama islam itu jangan sampai menakut – nakuti apalagi sampai
menggunakan kekuasaan negara. Islam itu lembut le, La ikraha fi al-din, tak ada paksaan dalam islam. Terus saiki kamu kan wes tahu, jangan sampai keminter tapi harus tetap rendah hati soale manusia itu sejatinya sang
penghendak ilmu. Iyo opo iyo?”
“yo
mbah, matursuwun. Sok mben aku tak ngomong ke Ustadz tapi
gak grudak – gruduk sok keminter.
Cuma mau meluruskan”
“Yo
wes pinter. Ayo simbah bikinkan kopi dulu gulanya satu sendok”
“Ayaiaiii
mbahhhhhh”
“Cah gemblung!!!”
Komentar
Posting Komentar