Memaknai Tembang "Lir - ilir" yang menjadi Senjata Raden Said mengislamkan bumi Tanah Jawa
Cathar
9 Des`20
Lir – ilir lir
– ilir, tandure wis sumilir
(Bangunlah
bangunlah, tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo –royo, tak senggo temanten anyar
(Demikian
menghijau, bagai pengantin baru)
Cah angon cah angon, penekno blimbing kuwi
(Anak
gembala anak gembala, panjatlah pohon belimbing itu)
Lunyu – lunyu penekno, kanggo mbasuh dodotiro
(Walau
licin tetaplah panjat, untuk membasuh pakaianmu)
Dodotiro dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
(Pakaianmu
pakaianmu, pakaianmu terkoyak di bagian samping)
Dondomono jlumatono, kanggo sebo mengko sore
(Jahitlah
benahilah, untuk menghadap nanti sore)
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
(Selagi
bulan bersinar terang, selagi banyak waktu luang)
Yo surak o, surak iyoo
(Ayo
bersoraklah, dengan sorakan iya)
-Tembang
Lir-Ilir, Sunan Kalijaga-
Sunan kalijaga, memiliki nama asli
Raden Said. Beliau adalah putra dari Adipati Tuban yakni Tumenggung Wilatikta,
yang seringkali disebut Raden Sahur. Beliau adalah keturunan Ranggalawe yang
diketahui telah masuk agama islam (sebelumnya memeluk agama Hindu).
Sedikit mengulik kisahnya, Raden
Said sebelum menjadi wali merupakan seorang perampok yang hasil jarahannya
diberikan kepada kaum miskin. Suatu ketika Raden Said bertemu dengan seorang
kakek tua yang diketahui sebagai Sunan Bonang, Raden Said pun mengambil tongkat
beliau yang disangkakannya sebagai emas. Disinilah wejangan dari Sunan Bonang
mulai ia renungkan yang isinya mengatakan bahwa Allah tak akan menerima amalan
yang buruk.
Singkat cerita karena kekaguman
Raden Said terhadap Sunan Bonang, akhirnya ia berkeinginan menjadi murid dari
beliau. Beliau pun menancapkan tongkatnya yang ditancapkan di dekat sungai dan
menyuruh Raden Said bersemedi menjaga tongkat itu. Sekitar 3 tahun lamanya
persemedian Raden Said, akhirnya Sunan Bonang datang dan membangunkannya dari
semedi panjang itu. Inilah yang kemudian membuat gelar pada Raden Said sebagai
Kalijaga. Walau kisah ini dinilai sedikit tidak masuk akal oleh sejarawan serta
memiliki pertentangan dengan ilmu syariat. Saya pribadi pun merasa sedikit
kurang yakin atasnya, bagaimana orang dengan kurun waktu selama itu bisa
bertahan hidup tanpa menyuplai asupan makanan ke dalam tubuhnya, serta
melakukan aktivitas lain.
Terlepas dari itu semua, Sunan Kalijaga
dikenal dengan gaya dakwahnya yang memadukan antara ajaran islam dengan
kebudayaan Tanah Jawa. Kesenian yang dilibatkan dalam dakwahnya antara lain
seni ukir, wayang, gamelan dan seni suara suluk. Beberapa suluk yang diciptakan
beliau ialah Lir – ilir dan gundul – gundul pacul.
Sunan Kalijaga berpendapat
bahwasannya masyarakat setempat harus di dekati secara bertahap mengingat
mereka akan menjauh jika saja pendiriannya diserang. Untuk itulah beliau
berkeyakinan bahwa jika islam mulai dipahami secara keseluruhan, maka dengan
sendirinya kebiasaan lama akan terkikis.
Kembali pada tembang lir – ilir,
yang sudah saya berikan pula terjemahan dibawahnya. Mari kita memaknai isi dari
tembang tersebut.
Kurang lebih memiliki filosofi
sesungguhnya yakni dapat diketahui bahwa liriknya mengajak kita untuk terbangun
dari sifat malas, keterbelakangan, dan tidak menginginkan perubahan. Atau
menurut sumber lain ini di ibaratkan dari orang yang di anggap belum masuk
islam (tidur), sehingga diajak bangun menuju pemikiran yang baru (agama islam).
Kemudian dari laman instagram @maiyah_jancukers disitu dikatakan bahwa diri ini
dilambangkan sebagai tanaman segar nan hijau, yang kemudian terserah kepada
kita yang berkeinginan menyuburkannya dan berbahagia yang disamakan layaknya
pengantin baru (dari sumber lain dikatakan ini berarti pribadi dan iman
islamnya = mempelai pengantin) atau malah sebaliknya.
Dikatakan gembala pada lirik berikutnya
memiliki makna sebagai seorang yang mampu mengajak makmumnya berada di jalan
kebenaran. Sedang gembala ini di perintahkan menaiki pohon belimbing yang
setiap buahnya bergerigi lima yang di andaikan sebagai rukun islam. Meskipun
sulit, namun umat islam tetap harus menggapainya. Dan dikatakanlah memanjat itu
untuk membasuh atau membersihkan kepercayaan kita.
Serta mengenai baju yang terkoyak
itu, merupakan pengibaratan atas iman yang rusak (berupa kesalahan dan dosa
yang telah diperbuat) untuk kemudian tetap harus diperbaiki agar saat dipanggil
memiliki kesiapan atau bekal menghadap sang Maha Pencipta. Kemudian lirik
terakhir menggambarkan jiwa kita yang masih muda dan memiliki banyak waktu
luang, sehingga dianjurkanlah melakukan dalam keseluruhan makna dari tembang
itu sendiri.
Itulah makna yang secara keseluruhan
telah saya rangkum dan tela`ah untuk memperkaya pengetahuan kita sendiri.
Sedikit banyaknya semoga tetap bermanfaat bagi kita semua.
Komentar
Posting Komentar