Masih "Bumi Manusia", Nyai Ontosoroh


Nyatanya hingga detik ini aku tak pernah benar – benar beralih untuk tidak memikirkan isi dari buku novel karya dari Seorang Pramoedya Ananta Toer itu, Bumi Manusia. Sebuah novel legendaris yang telah dijadikan film garapan dari Hanung Bramantyo itu yang cukup memukai pecinta sastra di Indonesia, terkhusus muda mudi karena pemeran utamanya ialah seorang Iqbaal Ramadhan yang saat itu tenar karena perannya di dalam film Dilan 1990.



Sebenarnya isi di dalam novel dengan keserasian filmnya cukup berbeda jauh dan ada beberapa bagian di dalam novel yang tak di ikut sertakan di dalam penggarapan filmnya. Mungkin karena terbatas oleh waktu mengingat juga film tersebut yang sudah terpotong beberapa bagiannya di dalam novel pun telah mencapai waktu pemutaran sekitar 3 jam lamanya.



Kalau beberapa hari lalu aku menulis sebuah resensi atas novelnya, maka kali ini aku ingin sedikit mengulas mengenai film Bumi Manusia itu sendiri. Aku menyukai filmnya yang mampu memberikan kesan era lampau dengan sangat bagus.



Bagaimana kalau sekarang aku begitu inginnya memberikan sebuah gambaran atas karakter dan peranan seorang Nyai Ontosoroh atau Sanikem dalam kisah itu. Jujur aku banyak terkejut dengan sosok Nyai Ontosoroh ini. Karakternya teramat kuat dan berpengaruh di dalam cerita itu.



Di dalam buku novelnya, Minke pun sempat menuturkan keterkejutannya akan perbedaan Nyai Ontosoroh dengan Nyai – nyai lainnya. Nyai Ontosoroh sendiri terlihat tak berjalan merunduk layaknya gundik pada umumnya di zaman itu, ia berjalan tegak dan memandang siapapun tepat pada matanya tanpa ada rasa takut barang secuil pun.



Kesehariannya yang mengurus perkebunan dan segala sesuatunya mencerminkan bahwa seorang Nyai Ontosoroh berpendidikan untuk mengampu hal semacam itu. Siapa mengira kalau ia tak pernah mengenyam bangku pendidikan. Lagi pula, jika bukan seorang elite pribumi maka tak akan pernah mengenal apa yang dinamakan sekolah dan pembelajaran di dalamnya. Rupanya ia mendapat semua pengetahuannya dari Tuan Herman Mellema, pun tata krama dalam segala sesuatu yang berbau Eropa cukup baik ia terapkan dalam kesehariannya.



Mengenai citra buruknya di dalam masyarakat, itu pun sebab label nyai karena merupakan seorang istri simpanan. Ada pula beberapa kemungkinan yang mengatakan bahwa terkadang seorang gundik pun tak dikawin sah, hanya sebagai pemuas nafsu semata.



Di film ini, yang pertama menyita perhatian adalah saat Nyai Ontosoroh malah menyuruh Minke untuk Mengecup pipi putrinya Annelies tepat di depan matanya sendiri. Nyai Ontosoroh merupakan rakyat pribumi, etnis Jawa pula. Itu yang membuat beragam spekulasi lahir, mengapa kiranya sampai hati ia melakukan hal itu. Aku pribadi menilai kalau beliau sudah terpengaruh budaya Eropa.



Kemudian satu scene lagi dimana beliau mendapati Minke dan Annelies dalam satu kamar malam itu, bukannya marah beliau malah menyelimutinya dan tersenyum memandang keduanya. Disinilah kemudian aku menangkap apa yang dipikirkan oleh Nyai Ontosoroh.



Ia berperilaku demikian karena ia ingin putrinya tak memiliki jejak masa depan yang buruk sama sepertinya. Kita tahu kalau Annelies sendiri ingin menjadi pribumi, maka cukuplah tenang Nyai Ontosoroh mengingat bahwa Minke adalah seorang pribumi yang dipilih oleh Annelies untuk dicintainya. Itulah mengapa kemudian beliau seakan memberikan kebebasan atas keduanya berlaku hal di luar adab dari budaya dan agama. Walau ini tak dibenarkan, aku mencoba berada di sudut pandang seorang yang dahulu pernah mengalami hal buruk dan pahitnya sebuah praktik jual beli manusia karena sebuah kepentingan jabatan.



Kembali lagi kepada kita untuk menyikapi hal ini sebagaimana mestinya. Orangtua terutama seorang Ibu yang memiliki latar belakang baik dan tak pernah dalam situasi semacam apa yang dialami Nyai Ontosoroh sudah pasti tak akan melakukan hal yang sama. Ia mungkin akan memarahi atau menghukum perilaku putrinya yang menyimpang sesuai dengan hukum adab yang berlaku.



Segala sesuatunya tetaplah berorientasi pada sebab dan akibat, pada dahulu dan sekarang, waktu itu dan waktu nanti. Semuanya akan selalu berkesinambungan, tak pernalah kita tahu bagaimana akhirnya, namun harapan untuk masa depan agar menjadi lebih baik merupakan tujuan setiap pribadi. Sekilas itulah yang bisa ku ungkapkan, sedikit melegakan hatiku yang cukup gemas dan ingin menuliskannya sesegera mungkin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku : Selingkuh - Paulo Coelho

Resensi Buku : Skenario Perang Dunia III

Done for me