Dunia Burung kicau dalam Latpres
Dunia Burung kicau dalam Latpres
Aku
pergi ke sebuah perlombaan burung, setidaknya itulah yang ku katakan di saat
pertama kali berkunjung kesana. Tidaklah aku sendirian karena orangtuaku tengah
berjualan di tempat yang tak jauh dengan area perlombaan.
Ku
sisir lamat – lamat sekitaran area, banyak pasang mata yang menusuk tepat padaku.
Aku menyadari semua itu karena gadis muda satu – satunya yang berada di tempat
itu hanyalah aku. Yah, semuanya pria dan ad beberapa wanita dewasa.
Risih,
malu, dan segala bentuk perasaan mengaduk sanubariku. Tahulah kiranya bagaimana
sorot mata seakan tengah menyimpan banyak tanya akan kehadiranku disana.
Baiklah ku usir jauh perasaan semacam itu sebisa mungkin, dengan langkah yang
sedikit ku percepat tak lupa kepala yang mendongak menatap lurus ke depan ku
pintakan izin untuk berdiri di tengah keramaian menonton perlombaan lebih
dekat.
Aku
sibuk mengamati dan mengamati keadaan sekitar, lalu lalang orang, gerombolan
yang tengah menyiapkan burung peliharaannya, kegiatan do`a orang sebelum
perlombaan, dan masih banyak lagi lainnya. Gemas, aku pun meraih ponsel
mengabadikan apa – apa yang ingin ku simpan.
Sebenarnya
aku menyadari ada satu golongan peserta lomba tengah mencoba membuka
pembicaraan denganku. Aku mulai takut, tapi suara tegas omku di samping area
perlombaan begitu memekakkan telinga sehingga spontan golongan tadi terdiam.
Omku datang di waktu yang tepat.
Cukup
lama aku disana, salah seorang saudara yang hampir seumuran dengan bapak
membuka pembicaraan saat aku tengah ikut duduk di bawah pohon jati bersama
bapak. Aku pun menimpali dengan beragam pertanyaan yang ingin ku mengerti.
Di
dapatlah informasi bahwasannya perlombaan ini disebut dengan Latpres (Latihan
Prestasi) dikarenakan peserta lomba datang dari beragam kota dan sifat
latihannya ini mencakup lingkup yang besar dengan waktu pengadaan 2 minggu
sekali, atau bisa juga disesuaikan dengan ketentuan penyelenggara. Sedangkan
Latber (Latihan Bersama) dilakukan dalam lingkup kecil dan diadakan seminggu
sekali.
Beragam
burung dengan jenis yang hampir tak pernah ku ketahui karena aku bukan seorang
pemerhati hewan ini, yang diantaranya ialah burung murai dan sisanya seperti
lovebird, cendhet, dan sebagainya.
Yang
tak kalah menyita perhatian ialah komunitas pecinta burung yang mengenakan
seragam. Sempat kubaca dibalik bajunya ialah komunitas Genk Ramayana, HNR, dan
Bangkit SF. Masing – masing dari mereka lebih banyak membawa sangkar burung
yang besar dengan isi burung Murai cantik di dalamnya.
50an
gantungan sangkar di dalam arena membuat latpres ini dibagi dalam beberapa sesi
dan disesuaikan dengan jenis burungnya. Dengan setiap juri resmi penyelenggara
yang ku ketahui merupakan organisasi resmi Kota Probolinggo yakni Radjawali
Indonesia (RI) tengah berdiri di berbagai sisi untuk melakukan penilaian dan
mencatat hasilnya. Untuk kemudian mereka menjatuhkan bendera dengan warna biru
(Artinya pemenang kontes), warna Merah (Artinya juara), dan warna kuning (yang
sayang sekali aku tak mengetahui untuk apa).
Bapak
mengatakan padaku, bahwa ajang ini adalah ajang dimana bukan melihat seberapa
mahalnya burung yang diikutkan latpres tapi seberapa unggul ia dapat
mengeluarkan kicauan merdu dan teknik nge-roll
yang panjang. Semakin banyak prestasi yang diraih oleh burung tersebut, maka
semakin mahal harga jualnya di kemudian hari.
Satu
fakta mencengangkan lagi, bahwa seorang juri Latpres ini ternyata harus melalui
diklat dan menebus biaya sertifikat yang bernilai Rp. 2.000.000 sampai Rp.
7.000.000, sungguh angka yang begitu fantastis untuk sebuah sertifikat
pengakuan. Dan letak pendidikannya pun tersebar di Bali, Yogyakarta, bahkan di
Ibukota Jakarta (Karena pusatnya berada disana).
Untuk
penyelenggara sendiri ini diketahui bernama BNR (Naungan cabang resmi Kota
Probolinggo dari Jakarta) yang dalam kawasan rumahku daerah Sebaung ialah
diketuai oleh Bapak Shafi`i.
Beranjak
dari penjabaran informasi yang ku dapat, sebenarnya terbesit dalam pemikiranku
sebuah kalimat yang entah bagaimana awalnya bisa spontan terpikir, kiranya
berbunyi : “Burung itu diberikan sorak sorai yang ramai untuk terus menunjukkan
kebolehannya di depan umum, tidaklah ku temui seorang pun menghentikan kicauan
indahnya dan malah sibuk menyuarakan kekaguman dengan mata berbinar. Sepintas
jika dianalogikan pada kehidupan manusia, seperti halnya lebih baik kita diam
sampai diminta untuk berbicara mengungkapkan gagasan, dibandingkan diminta diam
karena terlalu banyak berbicara”.
Ketidaksinambungan
isi tulisanku hari ini benar ku akui berantakan, ku usahakan menulis mengingat
ini merupakan hal menarik bagiku yang biasanya hanya berdiam diri seharian
penuh di kamar. Sedikit banyaknya semoga ada sesuatu yang dapat kau ambil.
Komentar
Posting Komentar