Apa aku? Arghhh kau itu!


“Apa aku akan menjadi buruk bilamana sepuntung kretek berada di sela jemari lentikku?
Apa aku akan menjadi hina jika saja seorang psk adalah teman sepermainanku?
Apa aku akan menjadi kotor andaikata seorang pembangkang menjadi panutanku?”


Tanpa sadar jawabmu hanya akan berkisar pada sekawanan asumsi negatif, benar? Haha.

Seakan sudah menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat, terlepas dari disadari atau tidaknya apa yang diperbuat.


Tak akan jauh dari pembahasan perihal menjadi Tuhan bagi manusia lain. Sekali lagi ku tekankan, tidak akan menjadi suci dan bersih dari dosa hanya dengan menghakimi orang yang dirasa bersalah menurut sisi pandang pribadinya.


Tak ada yang salah dengan mengingatkan pada umumnya, yang salah ialah pada manusianya yang berbicara panjang lebar seolah ia paling benar tanpa memberikan suatu ucapan solutif di dalamnya. Parahnya lagi, hal itu berlangsung dalam keramaian sehingga memantik dalam pikiran “Oh hei, apa ia berusaha menasehati? Ataukah agar citranya melambung tinggi?”.


Lagi dan lagi, Ucapan bisa ditebak tapi hati siapa yang tahu. Kembali ini berlaku dalam setiap kasus di kehidupan.


Dari segi apa pun pembahasan seperti ini akan selalu menjadi primadona yang tak akan lekang dimakan waktu. Selalu menjadi bahan untuk dikaji dan di dalami bagaimana seluk beluk dan penyelesaian yang tepat. Manakala segala sesuatu yang disebutkan olehku baru saja terlaksana, terkadang tak akan membuahkan hasil apa pun. Mengapa? Karena seperti apa yang telah tersaji dalam paragraf singkat di atas bahwa ini semacam budaya yang telah mengakar.


Memang tidak semua, ada kalanya hanya sebagian kecil masih demikian. Namun, tak dapat di pungkiri juga dalam praktiknya masih merajalela tanpa melihat ketentuan dimana dan siapa.


Aku memang tak berhak penuh dalam memaparkan semua yang menjadi buah pikiranku yang kini tengah terduduk manis menikmati udara sejuk selepas hujan.


Dengan kesadaran penuh dan pertimbangan yang cukup, oh bukankah aku masih punya kebebasan untuk menulis apa pun yang ku pikirkan?


Tak setiap waktu aku mendapatkan ide dalam menulis. Itu lah sebabnya mengapa menjadi seorang pengamat apa pun aktivitas menjadi pilihan terbaik kedua selain pergi berkelana memindai keadaan bersosial di masyarakat.


Kembali pada pembahasan, penting tak penting namun secara tidak langsung kau telah membacanya hingga barisan kalimat ini dalam paragraf tak tentunya.


Bagaimana? Apa aku membingungkan?


Kiranya siapa yang peduli, toh tulisan hanya tulisan. Bukankah tak setiap orang gemar membaca? Jangankan membaca, mendengar pun nyatanya menjadi sesuatu yang teramat sulit dibandingkan dengan mengangkat beribu ton batu per hari. Oh ayolah, perumpamaanku tidak cocok. Sekali lagi, siapa yang peduli memangnya?


Anggaplah ini hanya sebagian kecil ulasan yang bisa kupaparkan. Tak cukup menarik memang. Syukur – syukur pembaca akan terketuk pintu hatinya dan akan mengingat Tuhan setelahnya. Barangkali,


Ini berlaku bagi manusia yang masih memikirkan Tuhan dan telah menyatu atas-Nya. Bukan untuk kepala yang sibuk menjelaskan pada dunia betapa mulianya ia di hadapan khalayak ramai. Haha, kembali lagi. Saat ia sendiri, maka itulah sifat aslinya, perangainya.


Apa untungnya berkoar – koar menjelaskan ini itu , bagus begini bagus begitu, haram ini haram itu, tapi dalam dirinya nyata bahwa ia menentang atas segala yang diperbuat.
Lagi dan lagi, ucapan bisa di tebak tapi hati siapa yang tahu.


Ambillah kesimpulan atas tulisan tidak penting ini, semoga laju pikirmu beberapa kali lebih cepat untuk segera mencerna apa yang coba ku sampaikan. Masih manusia, masih berhutang O² di bumi, mengontrak kehidupan pada yang Kuasa, tambahkan sendiri sisanya yang sejenis. Sudah barang tentu tak ada habisnya. Apa masih suka menjadi Tuhan bagi sesama?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku : Selingkuh - Paulo Coelho

Resensi Buku : Skenario Perang Dunia III

Done for me