Hari Ini Mengulik Sedikit mengenai Mbah Tedjo, heuheu


Mari masuk dalam dunia pemikir ulung sepertiku . Mari bercerita dan berbagi perasaan lewat barisan kalimat per paragraf . Mungkin membosankan , tapi coba cari apa yang bisa kau dapatkan dari tulisan membosankan ini .


Selamat menyelam dan semoga tak menyesal.


Go!!!

Pagi ini aku bangun dengan suasana hati yang menghangat, walau semalaman terbayang akan apa yang terjadi hari ini. Kurasa hari ini akan berjalan dengan baik, mengingat aku mendadak tak memiliki rasa kekhawatiran yang berlebih lagi. Semoga saja,
Aku menulis catatan harian kali ini pada jam kurang lebih menunjukkan pukul setengah sebelas, masih pagi lah. Aku merasa ada yang menarik dan perlu di bahas saat ini juga, agar aku tidak melupa.


Berawal pada jam setengah tujuh pagi saat sedang menunggu jam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, aku yang telah membersihkan rumah dan beranjak mandi memutuskan untuk duduk di depan meja belajar kesayanganku dengan ponsel di genggaman. Membuka whatsapp yang berisi pemberitahuan bahwa kuliahnya secara asinkronus melalui gcr, lalu beralih dengan aku yang membuka instagram setelahnya.


Lama ku scroll beranda postingan dalam instagram, beragam postingan membuatku tersenyum sendiri, merenung, maupun melihat perkembangan terbaru teman semasa SMAku. Kemudian sampai pada satu postingan akun resmi dari Mbah Sudjiwo Tedjo (Figur yang ku kagumi) memperlihatkan 3 slide foto. Dalam slide pertama, terdapat foto yang diambil dengan tiga orang sebagai objek, yakni Mbah Tedjo sendiri, Mbah Muhammad Nursamad Kamba (Almarhum), dan Mbah Emha Ainun Nadjib. Slide kedua dan ketiga berisi foto edisi peluncuran ketiga  dari buku ”Tuhan Maha Asik” oleh Mbah Tedjo dan Mbah Nursamad Kamba.


Foto itu membuatku sedikit terharu, hanya foto biasa yang banyak berbicara dalam bisunya sebuah laman online. Ketiga sosok yang dari perseorangannya membawa citra unik tersendiri, dengan gaya dakwah yang beragam namun cenderung sama dalam artian. Dengan Mbah Nun yang merendah hati serta gamblang dalam penyampaian dakwah, Mbah Nursamad seorang ahli tasawuf yang begitu merangkul nan ramah, serta yang terakhir Mbah Tedjo dengan keunikan bicaranya yang cerdas serta pembawaannya yang menyatu dengan semua kalangan. Pesona mereka merangkap dalam satu frame sebuah foto di postingan itu.

Namun kali ini yang kusoroti ialah bagian caption yang dibubuhkan dibawah foto yang teramat menyadarkan diri siapapun yang membacanya. Kurang lebih isinya yang ku tangkap seperti ini :
Mengapa leluhur Jawa tak pernah memisahkan kata “Eling” atau ingat dan “waspodo” atau waspada? Eling lan waspodo selalu di ucapkan dalam satu kesatuan. Kenapa? Tanya Mbah Tedjo dengan dalih mengetest katanya.


Dijawablah oleh Mbah Nun dimana dalam postingan itu Mbah Tedjo menyebut beliau adalah muridnya. “Karena dzikir sejatinya tak bisa dipisahkan dari taqwa. Dzikir itu mengingat, taqwa itu waspada bahkan terhadap ingatan kita sendiri.” Maksudnya jangan-jangan Tuhan yang kita ingat itu bukan Tuhan, walau sudah sesuai dengan definisi tekstual dan firasat-firasat tentang Tuhan.


Lalu Mbah Tedjo melanjutkan, “bagaimana kita mengingat Tuhan, yaitu mengingat “sesuatu” yang tak punya persamaan bahkan tak punya pengandaian. Karena misal kita bayangkan Tuhan itu satu tapi satu numerik yang sudah pernah kita lihat/raba/dengar/cium/persepsikan/dll toh itu sudah bukan Tuhan lagi?”


Kemudian di ajukanlah kembali sebuah pertanyaan oleh salah satu karibnya, yang bunyinya : “Dzikir itu hanya mengingat di batin apa menuturkan? Nabi S.A.W bersabda `basahilah lidahmu dengan dzikir`. Berarti dzikir itu diucapkan”. Maksudnya, kalau sudah berulang-ulang kali dilafalkan maka ingatan kita tentang Tuhan bukan lagi ingatan yang kita sengaja atau kita arahkan sesuai nafsu/pikiran/persepsi kita.


Caption ditutup oleh penuturan Mbah Tedjo yang kurang lebih : Sebenarnya beliau tidak sedang mengetest, tapi bertanya dengan saksi cendekiawan muslim.


Dari postingan itu, banyak sekali ilmu yang bisa kita dapatkan dari setiap kalimat yang mengandung makna mendalam. Hanya segelintir orang yang memanfaatkan akalnya untuk berpikir mengenai hal ini, apalagi sampai pada tahap perenungan.


Kegiatan tanya jawab di atas dari sudut pandangku adalah cara dari Mbah Tedjo sendiri berdakwah dengan ciri khasnya yang seolah tak tau apa-apa namun banyak mengerti semua hal sampai pada akar-akarnya. Ia bertanya untuk sebuah pembenaran dan jangkauan berpikir yang luas dengan tidak hanya berpaku pada berbagai jenis “katanya-katanya”.


Aku dengar dulu di UTM pernah mengundang Mbah Tedjo sebagai pemateri sebuah acara. Semoga saja di tahun ini maupun tahun-tahun di masa kuliahku beliau bisa kembali di undang, adalah kesempatan yang mulia bisa bertemu dengan sosoknya nanti.


Disini aku tak memaksa siapapun untuk sependapat denganku. Namun, karena dalam catatan ini aku adalah pemilik hak mutlak teritorialnya maka aku bebas mengungkapkan gagasanku tentunya. Entah setuju atau tidak yah itu urumusanmu.


Satu hal lagi yang ingin ku sampaikan, berhati-hatilah dengan orang yang terlihat seakan tak tau apa-apa, karena dikhawatirkan sejatinya ia adalah orang-orang terpilih yang memiliki kemampuan di luar batas pemikiran manusia dalam menilai. Sehingga kau hadapi pertanyaannya dengan asal-asalan tanpa tau ilmu dan dasarnya (ini diluar konteks pembahasan para cendekiawan di atas, karena mereka adalah orang-orang yang paham betul akan apa yang ia ucapkan dan bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya). Karena orang pintar tak pernah mengaku pintar, namun yang bodoh selalu berusaha terlihat pintar. Benar?


Mbah Tedjo adalah bukti dari seseorang yang benar-benar pintar. Yang paling ku ingat ia pernah mengatakan : “Tangga menuju langit adalah kepalamu, maka letakkan kakimu di atas kepalamu. Untuk mencapai Tuhan injak-injaklah pikiran dan kesombongan rasionalmu.”


Tetap sehat yah pikiranmu! Jangan banyak bertingkah , banyak tingkah = mati . Just do anything what you want , but don`t break anyone else . Paham kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjara untuk Kebebasan

Resensi Buku : Saman

Come Back!!!